“Saya merasa senang dengan kegiatan ini (menyapu rumah). Saya menjadi paham akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Bahwa kesadaran diri dan inisiatif untuk tergerak dalam membersihkan lingkungan merupakan hal yang penting”, ungkap Ishqa Nalla salah satu siswa kelas X animasi SMK Negeri 11 Semarang dalam akun instagramnya setelah menyelesaikan kegiatan challenge 23 dengan judul “Kebersihan bagian dari iman”. Nampak bahwa challenge ini tidak ada di dalam kompetensi dasar pada jurusan animasi yang tertuang di dalam kurikulum, namun kegiatan ini sengaja direncanakan dan dilaksanakan di dalam proses pembelajaran. Meskipun demikian, kegiatan ini memiliki tujuan untuk membelajarkan pada siswa tentang budaya bersih. Kesadaran diri tentang budaya bersih salah satu bagian dari budaya kerja yang penting untuk menyiapkan siswa ke dunia usaha dan dunia industri.
Sudah sering kita mendengar ungkapan “Kebersihan bagian dari Iman”, “Buanglah sampah pada tempatnya” dan segudang kalimat yang banyak ditempel-tempel di tempat umum. Secara kognitif siswa mengetahui bahwa membuang sampah itu pada tempatnya, namun kenyataannya dalam berperilaku tidak mencerminkan apa yang diketahuinya. Tidak ada kesesuaian antara perilaku dan kognitif siswa. Dampaknya secara luas, budaya bersih di Indonesia hanya sebatas angan-angan yang sulit terwujud. Data 10 negara terbersih di dunia tahun 2021 ditempati oleh Denmark, Luksemburg, Swiss, Inggris, Perancis, Austria, Finlandia, Swedia, Norwegia dan Jerman (https://artikel.rumah123.com). Kapan Indonesia akan menjadi negara yang bersih, bebas dari sampah-sampah yang berserakan. Tidak jauh-jauh, kapan lingkungan sekolah akan terwujud menjadi sekolah yang bersih? Apakah harus menunggu tenaga kebersihan yang harus melakukan itu semua?
Budaya bersih hanya akan terwujud apabila ada sebuah kesadaran diri setiap siswa tentang pentingnya kebersihan dan adanya kemauan untuk melakukan. Siswa hendaknya merealisasikan tindakan hidup bersih dalam kehidupan sehari-hari, bukan semata-mata tahu di atas kertas. Hidup bersih tidak bisa menjadi budaya ketika setiap hari tidak melakukannya. Challlenge yang diberikan berupa proses kerja bakti di sekolah bagi yang mengikuti tatap muka, dan yang berada di rumah melakukan kegiatan bersih-bersih di lingkungan tempat tinggal atau dapat pula membersihkan tempat ibadah dan sebagainya. Kegiatan bersih-bersih sering dilakukan di sekolah, namun mengapa dampaknya belum menjadi sebuah budaya? Kegiatan bersih-bersih itu hanya sebatas rutinitas tanpa adanya olah pikir dan olah rasa, sehingga siswa hanya sebatas melakukan karena adanya aturan dan paksaan. Setelah tidak ada paksaan, mereka akan kembali pada kebiasaan lama.
Gambar berikut hasil postingan di instagram dari siswa yang bernama Regina Pascalya siswa kelas X Animasi SMK N 11 Semarang. Sekilas postingan itu biasa-biasa saja, yang menggambarkan tentang kegiatan Regina menyapu halaman rumahnya. Namun ketika kita cermati pada slide berikutnya untuk menjawab tentang nilai-nilai apa yang diperoleh dari kegiatan tersebut, Regina menyampaikan lewat tulisannya bahwa ia memperoleh sikap mencintai lingkungan sekitar, meningkatkan kepekaan diri, lingkungan menjadi bersih dan nyaman.
Slide selanjutnya ketika diberikan sebuah pertanyaan tentang apa yang dirasakan dari kegiatan ini, Regina memberikan respon bahwa ia senang karena dapat melakukan kegiatan ini dengan baik. Ia merasakan bahwa setelah melakukan kegiatan ini, lingkungan sekitar menjadi lebih asri dan enak dipandang. Olah pikir dan olah rasa ini yang sering terlupakan. Dialog baik secara lisan maupun secara tertulis yang sering dilupakan, sehingga kegiatan bersih-bersih lingkungan sekolah yang dilakukan hanyalah sebagai kegiatan rutin tanpa dilandasi kesadaran diri. Kesadaran diri akan tumbuh ketika ada dialog, adanya olah pikir dan olah rasa, seperti apa yang menjadi konsep pendidikan yang diajarkan ki Hajar Dewantara.
Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang terkenal dengan “Tringa” yaitu Ngerti, Ngroso lan Nglakoni, sangat relevan dalam pembentukan kesadaran diri siswa. Siswa melakukan budaya hidup bersih bukan sekedar mengerti, namun merasakan dan melakukan. Kegiatan ini dimaksudkan supaya anak tidak hanya dididik intelektualnya saja (cognitive), istilah Ki Hadjar Dewantara ‘ngerti’, melainkan harus ada keseimbangan dengan ngroso (affective) serta nglakoni (psychomotoric). Dengan demikian diharapkan setelah anak menjalani proses belajar mengajar dapat mengerti dengan akalnya, memahami dengan perasaannya, dan dapat menjalankan atau melaksanakan pengetahuan yang sudah didapat dalam kehidupan masyarakat. Semoga menginpirasi.
Penulis: Diyarko
Komentar Pengunjung