Flexing: Tantangan Bagi Guru

Flexing menjadi sebuah terminologi  yang sering muncul di media sosial atau media daring (dalam jaringan).  Kalangan milenial dan gen Z tentu sangat familiar dengan istilah flexing dalam kehidupan mereka dewasa ini, bahkan pada titik tertentu ada yang menjadi pelakunya sendiri (maaf, penulis tidak berpretensi untuk menghakimi siapa pun). Fakta bahwa istilah dan perilaku flexing kini makin populer dan viral melalui media sosial nota bene identik dengan kalangan milenial dan generasi Z.

Merriam Webster mengatakan asal kata flexing adalah “flex” yang berarti  menunjukkan atau mendemonstrasikan. Merujuk konten-konten tertentu di media sosial seperti Youtube, Tiktok, Twitter  dan lain-lain, flexing  berkaitan erat dengan perilaku  memamerkan kekayaan yang diperoleh dan dimilikinya, walaupun bila ditelusuri secara mendalam apa yang dipamerkan tersebut kadang hanya merupakan suatu ilusi. Dalam  Cambridge Dictionary lebih tegas dikatakan bahwa flexing adalah perilaku untuk menunjukkan sesuatu yang dimiliki atau diraih seseorang bahkan dengan cara yang dianggap orang lain tidak menyenangkan.

Walaupun istilah dan perilaku flexing dewasa ini dipopulerkan oleh kalangan milenial dan generasi Z melalui berbagai media sosial, namun tidak dapat dikatakan  bahwa kaum milenial dan generasi Z yang “menciptakan” perilaku flexing atau pamer  kekayaan. Perilaku flexing atau pamer kekayaan sudah ada sejak dulu pada generasi sebelumnya dalam bentuk dan format yang lain. Bukankah kalangan milenial dan generasi Z belajar dari  generasi sebelumnya?

Prof. Rhenald Kasali memaparkan bahwa flexing sebagai strategi marketing untuk membangun kekayaan agar customer percaya. Flexing sebelumnya pernah terjadi pada salah satu kasus travel di Indonesia. Mereka memamerkan kekayaan dengan begitu mewahnya hingga customer percaya (Bdk https://tirto.id/arti-flexing-asal-usul-katanya-yang-ramai-di-media-sosial-gpgJ).

Pada level pendidikan di sekolah, perilaku flexing menjadi suatu tantangan bagi guru atau pendidik,  di mana sebagai pendidik haruslah berusaha untuk memberikan contoh, membuka wawasan kaum milenial dan generasi Z, menginternasilir nilai-nilai, membentuk mindset dalam diri kalangan milenial dan generasi z (baca: murid-murid kita)  bahwa orientasi utama bukanlah pada hasil akhir, melainkan  proses untuk mendapatkan hasil akhir tersebut. Tidak ada sesuatu yang diperoleh secara instan. Dengan mindset yang sudah tertanam seperti ini, akan menjadikan kalangan milenial dan generasi Z  menjadi lebih disiplin, tangguh,  sabar, tidak cengeng ketika menghadapi kegagalan.  Kaum milenial dan generasi Z pun  tidak sombong (flexing: pamer kekayaan)  ketika menemui keberhasilan. Perilaku flexing harus dihindari  karena tidak sesuai dengan budaya tempat kita berada hari ini.

Penulis : Stefanus Sikone MM., Praktisi Bisnis Online, dan guru SMAN 1 Tengaran