Alat itu Bernama Kalkulator
Kalkulator merupakan salah satu alat hitung yang sudah sering dijumpai sekarang ini. Bahkan pada era sekarang kalkulator sudah dijumpai pada perangkat komputer dan gawai. Alat ini biasanya digunakan oleh para pedagang untuk menghitung terkait perdagangan yang terjadi. Di lingkup pendidikan sendiri alat ini menjadi sebuah tabu. Kalkulator bisa jadi dipandang sebagai jalan pintas yang mengacaukan pemahaman konsep matematika.
Kalkulator dan Evolusinya Beberapa Dekade Terakhir
Penggunaan alat matematis dalam lingkup pendidikan matematika mengalami evolusi dari waktu ke waktu.LucTrouche dalam artikelnya: Calculators in MathematicsEducation: A Rapid EvolutionofTools, withDifferentialEffectsmenjelaskan bahwa situasi sudah berubah signifikan mulai tahun 1975. Perangkat lunak yang memungkinkan perhitungan numerik dan geometri telah dapat diakses. Pada tahun 1975 ‘kalkulator meja’ muncul, kalkulator ilmiah dan dapat diprogram pada tahun 1980, kalkulator grafis pada tahun 1985, dan kalkulator simbolik (dilengkapi dengan CAS dan beberapa dengan perangkat lunak geometris) pada tahun 1995. Ketika alat-alat tersebut muncul, kalkulator grafis harganya menjadi sepuluh kali lipat dibandingkan buku teks matematika. Dua puluh tahun kemudian, biaya kedua benda ini tidak berbeda jauh. Alat-alat tersebut semakin kompleks, ergonomis,serta kinerjanya jelasditingkatkan dengan biaya semakin rendah.Perangkat lain juga telah dirancang untuk dapat diperbarui melalui internet.
Sejarah perkembangan kalkulator yang serupa juga dikemukakan oleh David Lindsay Roberts dalam artikelnya: HistoryofTools and Technologies in MathematicsEducation. Terobosan besar terjadi pada tahun 1970-an dengan hadirnya kalkulator elektronik yang murah dan lengkap. Awalnya kalkulator ini masih relatif besar dan hanya mampu menyelesaikanempat operasi aritmetika. Namun pada tahun 1980-an, kalkulator sudah mudah dibawa serta mampu menghitung fungsi trigonometri dan fungsi transendental lainnya serta menampilkan grafik sehingga jauh melampaui fungsi kalkulator mekanis dan mistar hitung.
Kalkulator sangat meningkatkan jangkauan permasalahan yang mungkin dapat diberikan kepada siswa namun terdapat kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap keterampilan aritmetika dasar dan muncul keraguan mengenai kesiapan guru untuk menggunakan kalkulator secara efektif. Pada pertengahan tahun 1990-an computeralgebrasystem (CAS) sudah tersedia pada perangkat genggam sehingga menimbulkan perdebatan lebih lanjut. Kini di abad kedua puluh satu meskipun nama generiknya masih sama, perangkat kelas atas yang disebut sebagai “kalkulator” pada dapat menyediakan sejumlah besar penyimpanan informasi, tampilan informasi, serta kemampuan demonstrasiselain perhitungan murni.Beberapa kontroversi masih ada akan tetapi dalam beberapa tahun terakhir penggunaan kalkulator telah meningkat di seluruh dunia di sekolah menengah dan dasar serta di tingkat perguruan tinggi.
Pro dan Kontra Penerapan Pembelajaran Matematika Menggunakan Kalkulator
Keberadaan kalkulator dan penggunaan dalam lingkup pendidikan matematika menuai berbagai tanggapan. Martha E. Gilchrist pada literatur “Calculator Use in MathematicsInstruction and Standardized Testing: An AdultEducationInquiry. Reviewof the Literature, 1976-1993” memaparkan pro dan kontra penggunaan kalkulator dalam lingkup pembelajaran matematika.Ia menyatakan bahwa banyak guru percaya pentingnya pendidikan matematika untuk mengikuti tren namun pada saat yang sama terdapat penolakan terhadap penggunaan teknologi baru seperti kalkulator di kelas terutama karena secara historis tidak diperbolehkan dalam tes standar yang dimaksudkan untuk mengukurefektivitas pembelajaran di kelas.
Dalam literatur Martha E. Gilchrist disebutkan beberapa pendapat yang mendukung penggunaan kalkulator di kelas matematika. (1) Tujuan pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik untuk beradaptasi dengan kehidupan dalam realitas ekonomi. Itulah sebabnya “tidaklah konsisten bagi kita untuk menggunakan kalkulator sehari-hari dalam kehidupan dewasa kita untuk keperluan pribadi dan bisnis namun mengabaikan kesempatan bagi siswa untuk mengeksplorasikekuatan teknologi tersebut. (2) Komputer dan kalkulator menawarkan dua keunggulan pentingyaitu kecepatan dan akurasi. Orang-orang yang memasuki dunia kerja di mana manipulasi data numerik merupakan bagian dari pekerjaannya harus sudah mahir menggunakan komputer dan mesin penghitung atau mereka harus terlatih dalam pekerjaan tersebut. Guru matematika perlu mempersiapkan siswanya secara memadai untuk menghadapi situasi tersebut. (3) Kebanyakan guru matematika memandang kalkulator sebagai cara untuk menghilangkan instruksi algoritmik yang berulang dari tahun ke tahun. Mereka yang menganjurkan penggunaan kalkulator di kelas, bahkan di kelas dasar, tidak mengatakan bahwa algoritma komputasi tidak boleh diajarkan sama sekali. Faktanya, mereka percaya bahwa siswa harus mampu melakukan perhitungan dengan kertas dan pensilsebagai bagian dari proses mengembangkan apa yang dikenal sebagai “numbersense” atau perasaan intuitif untuk memanipulasi angka dalam berbagai jenis perhitungan. (4) Ketika siswa menggunakan kalkulator dia dapat melakukan eksperimen pikiran. Dalam memutuskan bagaimana melakukan operasi aritmetika tertentu siswa sering kali menyusun rangkaian gerakan yang terarah dan menjalankan aktivitas tersebut secara mental sebelum benar-benar memasukkan angka-angkanya.Banyak guru merasa bahwa algoritma komputasi yang rumit belum tentu merupakan prasyarat untuk beralih ke bentuk matematika yang lebih tinggi. Pada titik tertentu dalam pendidikan anak-anak penekanan yang diberikan pada komputasi harus dikurangi sedangkan pemecahan masalah harus dominan bahkan jika algoritma komputasi tidak dikuasai.
Martha E. Gilchristjuga mengungkapkan pandangan negatif dari penggunaan kalkulator di kelas meskipun banyak pandangan positif yang mendukung. (1) Salah satunya datang dari John Saxon, seorang penerbit buku teks, yang berpandangan bahwa siswa tidak akan mampu melakukan perhitungan sederhana di kepala mereka bahkan mereka tidak akan mampu memperkirakan.(2) Dia menambahkan bahwa memperkenalkan kalkulator di sekolah dasar akan meyakinkan banyak siswa bahwa kalkulator adalah kotak ajaib yang dapat digunakan sebagai pengganti untuk pemahamandan para siswa ini akan menolak upaya mental berat yang diperlukan untuk mengembangkan “numbersense” dan kemampuan memperkirakan. Saxon mengakui bahwa kalkulator dapat berhasil digunakan di tingkat sekolah menengah atas namun hanya setelah siswa menguasai konsep dasar aritmetika. Pada penelitian Pfeiffenberger’s and Zolandz’mengungkapkan pandangan para guru untuk penerapan kalkulator dalam pembelajaran yaitu bahwa (3) keterampilan matematika tidak dipelajari ataumereka berhenti berkembang dengan penggunaan kalkulator, (4) siswa mungkin hanya memanipulasi angka-angka untuk mencocokkan pilihan daripada menyelesaikan masalah, (5) Penggunaan kalkulator menyebabkan kurangnya keterampilan matematika dan kemampuan analisis siswa sehingga tidak memahami konsep dasar yang terlibat.
Pro dan kontra dalam penggunaan kalkulator dalam pembelajaran merupakan hal yang wajar namun terdapat hal yang perlu dicermati oleh para guru matematika. Kesimpulan Higginsdalam literaturMartha E. Gilchristadalah bahwa walaupun argumen mengenai penggunaan kalkulator di kelas matematika mendapat publisitas dia percaya bahwa kita mencurahkan waktu dan energi untuk hal yang tidak terlalu penting. Ia menegaskan bahwa masalah sebenarnya bukanlah apakah kalkulator harus digunakan di kelas matematika akan tetapi bagaimana cara penggunaannya di pembelajaran matematika. Terlebih lagi di era sekarang teknologi sudah sangat lekat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Suatu hal yang memalukan apabila kita sebagai seorang guru matematika justru menekan para siswa untuk “alergi” terhadap teknologi termasuk kalkulator. Hal yang seharusnya kita lakukan adalah mendorong para siswa menggunakan teknologi untuk menyelesaikan masalah yang mungkin dihadapi di masa mendatang. Bagi saya guru adalah profesi yang menyiapkan seseorang untuk masa depan bukan hanya melihat masa lalu sebagai kebiasaan.
Penulis: Andhika Wildan Krisnamurti, S.Pd., Guru Mapel Matematika SMKN 10 Semarang
Komentar Pengunjung