Selain sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan ekspresi kepribadian. Bahasa acapkali menjadi tolok ukur kesantunan seseorang. Santun tidak hanya dilihat dengan dari sikap dan tingkah laku namun juga dinilai diekspresikan dalam berbahasa. Tuturan akan disebut santun apabila peserta pertuturan tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan akan santun apabila penutur memperhatikan kata-kata serta bahasa yang akan disampaikan kepada lawan tutur.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima (KBBI V) mengartikan kata santun adalah halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sabar dan tenang. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial (Yule, 1996: 104). Hakikatnya kesantunan berbahasa adalah etika kita dalam bersosioalisasi di masyarakat, atau di mana kita berada, dengan penggunaan bahasa dan pemilihan kata yang baik, serta meperhatikan di mana, kapan, dan kepada siapa kita berbicara karena sesungguhnya bahasa adalah kebudayaan. Untuk memahami suatu bahasa kita harus memahami kebudayaan itu sendiri.
Beberapa teori yang membahas tentang kesantunan berbahasa, seperti teori kesantunan Robin Lakoff, yang berbunyi jika tuturan kita ingin terdengar santun di telinga pendengar atau lawan tutur kita ada tiga kaidah yang harus dipatuhi, yaitu formalitas (formality) jangan memaksa atau angkuh (aloof), ketidaktegasan (hesitancy) buatlah sedemikian rupa sehingga lawan tutur dapat menentukan pilihan (option), dan persamaan atau kesekawanan (equality or cameraderie), bertindaklah seolah-olah Anda dan lawan tutur Anda menjadi sama (Chaer, 2010: 46). Teori kesantunan Bruce Fraser, yang mengatakan bahwa kesantunan adalah properti yang diposisikan dengan tuturan dan di dalam hal ini menurut pendapat si lawan tutur, bahwa si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari dalam memenuhi kewajibannya. Sedangkan penghormatan adalah bagian dari aktivitas yang berfungsi sebagai sarana simbolis untuk menyatakan penghargaan secara reguler (Chaer, 2010: 47).
Anak-anak generasi Abad 21 yang akrab dengan kemudahan teknologi namun cenderung menjadi priibadi yang individualis memerlukan adanya keseimbangan antara pengetahuan dengan keterampilan sebagai dasar dari sumber daya manusia yang berkualitas pada perkembangan zaman. Mengasah keterampilan kesantunan berbahasa melalui pembiasaan diri yang didasari oleh pengetahuan menjadi sebuah keharusan.
Kesantunan berbahasa dikalangan peserta didik di Abad 21 ini cenderung semakin menurun kesantunanya dibandingkan dengan zaman dahulu. Hal ini tampak pada ungkapan/tulisan dalam menyuarakan pendapat dan perasaannya melalui sosial media. Kita sering mendengar, membaca, menyaksikan kebiasaan peserta didik masa kini yang dengan entengnya mengujarkan kata-kata kasar, ujaran kebencian dan terkadang juga disertai dengan bumbu sebutan antar teman yang miris didengar.
Fenomena tersebut menunjukkan adanya penurunan kesantunan berbahasa yang tidak hanya berkaitan dengan pemilihan kata/kalimat tetapi juga berkaitan dengan adat pergaulan global dan informasi yang membawa pengaruh pada budaya, khususnya berkaitan dengan nilai kesantunan. Pada akhirnya mereka memiliki kaidah kebahasaan yang dianggap bergengsi, tanpa mengindahkan kaidah bahasa yang sesungguhnya.
Pendidikan etika berbahasa memiliki peranan yang penting. Dengan kesantuanan, akan tercipta keharmonisan pergaulan yang baik. Semakin intens kesantunan berbahasa itu ditanamkan sejak dini, maka kematangan emosi seseorang akan semakin baik. Aktivitas berbahasa dengan emosi berkaitan erat. Kemarahan, kesenangan, kesedihan, dan sebagianya tercermin dalam kesantunan dan ketidaksantunan itu. Berbahasa yang santun seharusnya sudah menjadi suatu tradisi yang harus dimiliki oleh seseorang sejak usia dini. Agar anak menjadi terbiasa menggunakan bahasa dengan santun dalam segala aspek kehidupan.
Oleh: Megawati Retnaningtyas, S.Pd
SMK Negeri 5 Semarang
Komentar Pengunjung