Membangun Sekolah Welas Asih

Per 01 Agustus 2021 saya mendapatkan amanah untuk mengelola SMKN H Moenadi sebagai pelaksana tugas. Sebagai abdi negara tentu menjadi kewajiban saya untuk menerima dengan senang hati. Walaupun mengelola dua sekolah dalam waktu yang bersamaan tentu tidak mudah. Saya menganggapnya ini adalah sebuah tantangan  untuk menempa diri agar terus belajar dan belajar untuk menjadi lebih baik. Tantangan dapat pula di-ibaratkan sebagai suplemen untuk menambah imunitas mental kita agar semakin kuat.

Ketika mendengar nama gunung everest, bayangan kita langsung tertuju pada salah satu gunung tertinggi di dunia. Ada cerita menarik dari gunung ini yang bisa diambil hikmahnya. Sir Edmund Hilary (1919 – 2008) adalah orang pertama yang dapat menaklukan gunung everest di puncak pegunungan Himalaya. Karena keberaniannya itu, ia pun diberi gelar kebangsawanan oleh Ratu Elizabeth II. Pada hari pemberian penghargaan, Hillary berkata kepada penonton yang hadir, “Gunung Everest pernah menaklukan saya sekali dan demi menaklukannya saya terus kembali dan kembali lagi. Dan sekarang saya menjadi pemenang karena gunung itu tidak dapat menjadi besar tetapi saya dapat menjadi besar!”

Apa tantangan baru yang ingin saya pelajari? Itu adalah compassionate school atau sekolah welas asih. Sebuah sekolah bukanlah pabrik yang melahirkan siswa-siswa pintar, tetapi sebuah lingkungan yang membuat semua unsur di dalamnya menjadi lebih ber-adab. Sekolah adalah ladang untuk menanam benih karakter luhur: nilai-nilai keber-adab-an yang melandasi pola hubungan antara individu di sekolah. Dan individu itu adalah siswa, guru, staf tata usaha, satpam, petugas kebersihan, yang batin martabatnya sama, yakni manusia. Jabatan hanyalah alat untuk menjalankan tugas manajerial , yang paling utama adalah apapun jabatan dan fungsi yang disandangnya jangan menggerus apalagi menggadaikan martabat kemanusiaan.

Hubungan yang terjalin selama proses belajar semestinya bukan hanya terbatas hubungan antara guru dan siswa. Hubungan profesionalisme guru-siswa kadang menutup sisi kemanusiaan yang lebih fundamental seperti toleransi, saling menghargai, kasih sayang, peduli. Harkat kemanusiaan yang semakin ditinggalkan dan tidak dijadikan ruh dalam menjalani proses belajar. Akibatnya, sikap adil dan beradab menguap dalam panasnya kerja profesionalisme yang kering. Sekolah berubah menjadi pabrik untuk memproduksi cetakan-cetakan ilmu dan keterampilan. Guru mengajar, siswa belajar. Guru menyampaikan, siswa menerima. Guru menilai, siswa dinilai. Guru menghukum, siswa dihukum. Tidak terjadi dialektika yang adil. Bagaimana dikatakan adil jika siswa selalu berada di kutub pasif.

Apabila tatanan keadilan yang seharusnya menaungi pola hubungan guru-siswa telah layu dan kering, lantas digantikan oleh pola hubungan yang linier, kaku, tanpa ruh–akibat selanjutnya adalah pupusnya karakter keber-adab-an. Guru hilang wibawa. Siswa atau orangtua memandang guru tak lebih sebagai pekerja di sekolah.

Sekolah kita harus mengubah sistem pendidikan yang masih berorientasi pada ta’lim (mengajarkan) menjadi ta’dib (penanaman adab). Dalam konsep compassionate school, ta’dib harus diterapkan secara menyeluruh meliputi tiga area, pertama Sumber Daya Manusia yaitu guru, karyawan, orang tua, hingga satpam, kedua kurikulum, dan yang ketiga iklim atau hidden curricullum.

Banyak sekolah menginvestasikan begitu banyak waktu dan pikiran untuk menyabet berbagai penghargaan. Tapi tak banyak yang serius membuat sekolah menjadi berharga dengan karakter dan budi pekerti. Banyak guru dan pelatih didatangkan untuk memberikan pembinaan tambahan pada siswa agar dapat menang lomba. Tapi sedikit sekali pelatihan service excellence untuk guru dan karyawan.

Banyak guru yang dilatih kurikulum ini dan itu, strategi mengajar ini dan itu, tapi jarang mereka yang dilatih untuk meningkatkan harga diri anak, membuat anak memiliki resilience (ketahan-bantingan), membuat mereka senang dan bahagia. Kehebatan olah pikir (kepandaian, kognisi) lebih dihargai secara berlebihan daripada kebaikan, seperti Gratitude (rasa syukur), Ressilience, Engagement (Keterlibatan), Relationship (Hubungan Positive) dengan ‘The Other’,  Meaning (Menemukan, memberikan Makna). Tidak melulu Accomplishment (Prestasi atau Pencapaian).  Lebih bijak jika sekolah mengubah yang pertama dari menggunakan ilmu-ilmu Psikologi Sakit (saat lalu), menjadi berorientasi Psikologi Sehat (Psikologi positif), yang kedua target sekolah,  tidak hanya success (Achievable), tapi bersamaan dengan weel-being (happiness) dan yang terakhir dari masih berorientasi pada ta’lim (mengajarkan) menjadi ta’dib (penanaman adab).

Tantangan sekolah welas asih sangat menarik untuk saya pelajari. Akan saya mulai dengan membangun hubungan antara kepala sekolah dengan guru dan karyawan yang hangat. Mari kita belajar bersama.

Penulis : Ardan Sirodjuddin, Kepala SMKN 1 Tuntang dan Plt Kepala SMKN H. Moenadi Ungaran