Akhir-akhir ini, aksi tawuran semakin marak terjadi di berbagai tempat, termasuk di kota Semarang. Tawuran ini seringkali melibatkan anak-anak usia sekolah, terutama pelajar SMP, SMA, dan SMK. Di Semarang, anak-anak yang sering terlibat dalam tawuran atau tindak kriminal di jalan dikenal dengan sebutan “kreak.” Remaja-remaja ini biasanya tergabung dalam geng motor dan sering nongkrong pada malam atau dini hari. Tawuran yang mereka lakukan bukan lagi sekadar kenakalan remaja, melainkan sudah masuk kategori tindakan kriminal karena sangat merugikan dan sering kali menggunakan senjata tajam seperti parang. Hal ini tentu menimbulkan korban, baik dari pihak pelaku tawuran maupun warga sekitar yang menjadi sasaran tak sengaja. Kejadian seperti ini sangat meresahkan warga yang tinggal di lingkungan tempat sering terjadi aksi tawuran.
Penyebab utama terjadinya tawuran antara lain adalah proses penemuan jati diri yang salah. Usia remaja adalah masa di mana individu mencari jati diri, namun jika tidak bisa membedakan mana yang baik dan buruk, mereka mudah terjerumus ke dalam pergaulan negatif. Pola pikir mereka yang belum matang membuat mereka mudah terbujuk oleh pengaruh buruk dari teman-temannya. Selain itu, remaja sering kali membutuhkan pengakuan dari lingkungan sekitarnya. Demi diterima, bahkan di lingkungan yang “salah,” mereka rela bergabung dengan kelompok atau geng yang melakukan hal-hal negatif.
Rivalitas antar sekolah juga sering menjadi pemicu tawuran. Rivalitas yang berasal dari kejadian masa lalu bisa berkembang menjadi persaingan yang berdampak negatif, termasuk tawuran antar pelajar. Kurangnya pengawasan dari orang dewasa, baik orang tua maupun guru, juga memperparah situasi ini. Remaja yang agresif dan ingin mengenal banyak orang membutuhkan pengawasan ekstra agar tidak terjerumus ke dalam lingkungan pertemanan yang salah.
Pengendalian diri yang kurang juga menjadi faktor penyebab tawuran. Remaja yang mudah marah dan frustasi sering kali tidak bisa mengendalikan emosi mereka. Ketika menghadapi masalah, mereka cenderung menyalahkan pihak lain dan menyalurkan emosi dengan cara ikut tawuran. Selain itu, efek game online yang mengandung unsur kekerasan juga dapat mempengaruhi perilaku agresif dan pemarah pada remaja.
Pengaruh media sosial juga tidak bisa diabaikan. Dengan akses yang mudah ke media sosial, remaja sering terpapar berita kekerasan, bullying, dan tawuran. Hal ini dapat mendorong mereka untuk meniru apa yang mereka lihat di media sosial tersebut.
Untuk mencegah terjadinya tawuran antar pelajar, beberapa langkah perlu diambil. Pertama, pemberian sanksi yang tegas kepada siapa pun yang terlibat tawuran dapat menjadi deterrent bagi yang lain. Kedua, sekolah perlu mengadakan sosialisasi tentang bahaya tawuran. Guru juga dihimbau untuk menjadi sosok teladan dan inspiratif bagi siswa, serta memberikan perhatian dan motivasi kepada mereka.
Menjalin komunikasi yang baik antara sekolah, keluarga, dan masyarakat adalah kunci lain dalam pencegahan tawuran. Sekolah harus menciptakan lingkungan belajar yang nyaman, aman, dan menyenangkan. Selain itu, meningkatkan pendidikan karakter siswa melalui kegiatan positif di sekolah, seperti ekstrakurikuler pramuka, paskibra, band, dan lain-lain, sesuai dengan minat dan bakat siswa, juga sangat penting.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan dapat mengurangi aksi tawuran dan menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi perkembangan remaja. Remaja harus diarahkan untuk menyalurkan energi dan emosi mereka ke kegiatan yang lebih positif dan bermanfaat. Dukungan dari semua pihak, baik keluarga, sekolah, maupun masyarakat, sangat diperlukan untuk mencapai tujuan ini. Hanya dengan kerja sama dan kepedulian bersama, masalah tawuran dapat diatasi dan masa depan yang lebih cerah bagi para remaja dapat diwujudkan.
Penulis: Dian Puspita Sari, S.Pd. Guru SMK Teuku Umar
Komentar Pengunjung