Meningkatkan Derajat Keluarga Melalui Mawaris

Harta adalah salah satu nikmat Allah yang diberikan kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia. Harta juga merupakan salah satu sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan cara menggunakannya sesuai dengan syariat-Nya. Salah satu aspek syariat yang berkaitan dengan harta adalah mawaris atau waris. Mawaris adalah ilmu yang membahas tentang peralihan harta dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya. Mawaris merupakan salah satu cabang ilmu fiqih yang sangat penting dan bermanfaat bagi umat Islam. Dengan mempelajari mawaris, kita dapat mengetahui hak dan kewajiban kita sebagai ahli waris, serta cara membagi harta warisan secara adil dan sesuai dengan ketentuan Allah.

Mawaris juga memiliki peran yang sangat besar dalam meningkatkan derajat keluarga. Dengan mawaris, kita dapat menjaga hubungan silaturahmi antara ahli waris, menghindari perselisihan dan pertikaian, serta mewujudkan keharmonisan dan kesejahteraan keluarga. Mawaris juga merupakan salah satu bentuk rahmat dan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya, karena Allah telah menetapkan bagian-bagian yang pasti dan tidak bisa dirubah oleh siapa pun. Dengan demikian, kita dapat merasa tenang dan ridha dengan ketetapan Allah, serta bersyukur atas nikmat yang telah diberikan.

Dasar Hukum Mawaris

Mawaris adalah salah satu hal yang telah diatur oleh Allah dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 7 yang artinya :

“Bagi laki-laki ada bagian dari harta yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan juga ada bagian dari harta yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabatnya, baik harta itu sedikit atau banyak, sebagai bagian yang wajib.”

Dalam ayat ini, Allah menegaskan bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak untuk menerima warisan dari orang tua dan kerabatnya. Allah juga menetapkan bahwa bagian-bagian warisan tersebut adalah wajib dan tidak bisa diubah oleh siapa pun. Allah juga menjelaskan secara rinci tentang bagian-bagian warisan tersebut dalam ayat-ayat berikutnya, yaitu ayat 11-12 dan ayat 176 dari surat yang sama.

Selain Al-Qur’an, mawaris juga dijelaskan oleh Rasulullah dalam hadis-hadisnya. Salah satu hadis yang terkenal adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari sahabat Abdullah bin Abbas, bahwa Rasulullah bersabda:

“Pelajarilah ilmu faraid (mawaris) dan ajarkanlah, karena ilmu itu adalah separuh dari ilmu (agama), dan ilmu itu mudah dilupakan, dan ilmu itu adalah ilmu yang pertama kali diangkat dari umatku.”

Dari hadis ini, kita dapat mengetahui betapa pentingnya ilmu mawaris bagi umat Islam. Rasulullah menyebutnya sebagai separuh dari ilmu agama, karena ilmu ini berkaitan dengan hak-hak Allah dan hak-hak manusia. Rasulullah juga memerintahkan kita untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu ini, karena ilmu ini mudah dilupakan dan akan diangkat dari umatnya. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu mawaris adalah ilmu yang harus dijaga dan dilestarikan, serta ditransmisikan kepada generasi berikutnya.

Syarat dan Rukun Mawaris

Dalam ilmu mawaris, terdapat beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi agar peralihan harta warisan dapat berlangsung secara sah. Syarat-syarat mawaris adalah:

  1. Adanya orang yang meninggal (mawruts).
  2. Adanya harta yang ditinggalkan (tirkah).
  3. Adanya ahli waris yang berhak menerima warisan (warits).
  4. Adanya hubungan nasab atau perkawinan antara mawruts dan warits.
  5. Tidak adanya halangan yang menghalangi warits untuk menerima warisan.

Rukun-rukun mawaris adalah:

  1. Wafatnya Mauruts.
  2. Adanya warits yang masih hidup setelah wafatnya mauruts.
  3. Adanya tirkah yang dapat dibagi kepada warits.

Bagian-Bagian Waris

Bagian-bagian waris adalah jumlah harta yang diterima oleh masing-masing ahli waris dari tirkah. Bagian-bagian waris ini telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dan tidak boleh ditambah atau dikurangi oleh siapa pun. Bagian-bagian waris ini dibedakan berdasarkan jenis kelamin, derajat kekerabatan, dan jumlah ahli waris. Secara umum, bagian-bagian waris ini dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

  1. Ashabul furudh, yaitu ahli waris yang mendapat bagian waris yang pasti dan tetap, dan tidak tergantung pada jumlah ahli waris lainnya. Ashabul furudh terdiri dari enam kelompok, yaitu:
  • Anak laki-laki dan perempuan, termasuk cucu laki-laki dan perempuan dari anak laki-laki.
  • Ayah dan ibu, termasuk kakek dan nenek dari pihak ayah dan ibu.
  • Suami dan istri.
  • Saudara kandung laki-laki dan perempuan, baik seayah seibu maupun seayah atau seibu saja.
  • Saudara seayah dari ayah dan anak laki-laki dari saudara seayah dari ayah (sepupu laki-laki).
  • Saudara seayah dari ibu (paman) dan saudara seibu dari ibu (bibi).

 

  1. Ashabul ashabah, yaitu ahli waris yang mendapat bagian waris yang tidak pasti dan tidak tetap, dan tergantung pada jumlah ahli waris lainnya. Ashabul ashabah terdiri dari dua kelompok, yaitu:
  • Ashabul ashabah bi al-nasab, yaitu ahli waris yang memiliki hubungan nasab dengan mawruts, tetapi tidak termasuk ashabul furudh. Contohnya adalah anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki, anak laki-laki dari saudara seayah laki-laki, anak laki-laki dari saudara seibu laki-laki, dan seterusnya.
  • Ashabul ashabah bi al-ma’al, yaitu ahli waris yang memiliki hubungan perkawinan dengan mawruts, tetapi tidak termasuk ashabul furudh. Contohnya adalah istri kedua, ketiga, atau keempat dari mawruts, atau suami dari

“SMK Negeri 10 Semarang, dari Semarang untuk Indonesia”

Penulis: Drs. Mustofa, M.Si., Guru Mapel Pendidikan Agama Islam

Editor: Tim Humas