Di Indonesia kebijakan Merdeka Belajar sudah digaungkan di lingkup Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kebijakan ini berguna untuk meningkatkan kreativitas tenaga pendidik agar tumbuh dengan baik dan bermanfaat bagi peserta didik. Untuk menciptakan praktik baik kepada peserta didik, para guru perlu didorong agar terus berkreasi dengan penuh inovasi. Menurut penuturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Bapak Nadiem Makarim, dalam acara puncak peringatan Hari Guru tahun 2020 lalu diungkapkan bahwa ‘Kreativitas yang dibangkitkan dari guru-guru itu sendiri bukan resep yang dibawa, tapi bangkit dari guru-guru itu sendiri.’ Hal itu dibuktikan dengan dibuatnya berbagai metode atau media pembelajaran yang menyenangkan dan bisa diterima secara baik oleh peserta didik.
Sejalan dengan peningkatan kreativitas tersebut di atas, setiap guru diharapkan dapat memahami esensi terpenting dari konsep merdeka belajar. Yang mana di dalamnya terdapat upaya untuk memberikan kesempatan bagi peserta didik dalam mengembangkan kemampuan berpikirnya dengan penuh inovasi dan kreativitas. Atau dalam arti yaitu kebebasan berekspresi yang ada dalam diri siswa dibiarkan mengalir dengan derasnya, agar segala bentuk ide kreatif yang dapat mendukung kegiatan pembelajaran dapat berjalan dengan baik. Serta memberikan banyak makna positif bagi peserta didik itu sendiri.
Berdasarkan asumsi tersebut, penulis selaku guru mata pelajaran Sosiologi di SMAN 11 Semarang, menciptakan karya-karya pembelajaran inovatif dan kreatif bagi seluruh peserta didik di sekolah. Salah satu praktiknya yaitu kegiatan pembelajaran Sosiologi, yang dinamai menjadi mata pelajaran ‘Sociofun ( Sosiologi dalam gembira).’ Dalam kegiatan pembelajaran ini guru menerapkan model story telling yang didukung oleh ketersediaan media pembelajaran ‘buku umbul.’ Buku mumbul tersebut difungsikan sebagai media bantu yang menarik untuk menceritakan tentang fenomena perubahan sosial yang ada di sekitar lingkungan masyarakat .
Media pembelajaran ‘buku mumbul’ dapat diilustrasikan sebagai karya seni pop up art. Karya seni ini biasanya digunakan untuk membuat buku cerita bergambar untuk anak usia dini, yang menampilkan banyak gambar unik dari beberapa tokoh atau karakter cerita, dengan efek empat dimensi, di mana ada tokoh yang seolah-olah keluar dari dalam buku cerita tersebut. Dari teknik pop up art inilah yang kemudian memunculkan ide untuk mengembangkan model buku cerita bergambar dengan efek empat dimensi di lingkup pendidikan SMA. Tentunya model ini dapat memancing antusiasme siswa untuk berkreasi dalam kekompakan dan kerjasama kelompok.
Selama pembelajaran berlangsung, peserta didik diberikan waktu selama satu kali pertemuan untuk membuat medianya dengan memanfaatkan berbagai macam barang bekas. Contohnya seperti pemanfaatan bahan kardus bekas mi instan, karung kertas bekas bungkus semen, dan bahan bekas pendukung lainnya yang ramah lingkungan. Selain itu bahan yang dipakai juga berkonsep berkreasi dengan biaya 0 (nol) rupiah. Sejalan dengan program sekolah Adiwiyata di lingkup SMAN 11 Semarang. Kemudian, setelah proses pembuatan karya usai dengan baik dan kreatif, setiap kelompok siswa akan mempresentasikan karya buku mumbulnya di depan kelas dengan model presentasi atraktif yang dilakukan di luar kelas. Hal ini dilakukan agar para peserta didik dapat menyegarkan sejenak pikirannya dari suasana kelas yang mungkin terasa kaku, serta dapat mendekatkan peserta didik dengan alam sekitar lingkungan sekolah yang asri dan dipenuhi dengan pepohonan rindang.
Dalam praktiknya, setiap kelompok yang maju akan memperlihatkan karya buku mumbul milik kelompoknya masing-masing. Kemudian, peserta didik di kelompok lain harus memberikan tanggapan terkait gejala perubahan sosial yang muncul dalam kehidupan masyarakat di suatu lingkungan tertentu. Sebagai contoh, ada sekelompok siswa yang akan bercerita mengenai fenomena perubahan sosial yang ada di kawasan pecinan Semarang tempo dulu, yang kini berubah menjadi kawasan pecinan semawis modern yang terletak di pusat Kota Semarang. Pecinan tersebut terkesan lebih kekinian dan dipenuhi pusat kuliner modern. Maka setelah presentasi kelompok usai, peserta didik dari kelompok lain diperbolehkan untuk menanyakan pertanyaan tertentu terkait fenomena perubahan sosial di pecinan tersebut. Misalnya pertanyaan terkait dengan faktor-faktor apa saja yang bisa mengubah wajah pecinan lawas yang kumuh dan tradisonal menjadi kawasan pecinan Semarang kini yang justru dijadikan sebagai pusat kuliner, yang lebih modern dan kerap dikunjungi kaum millenial. Dari pertanyaan yang diajukan oleh kelompok lain tersebut, diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berpikir kelompok yang presentasi dan sekaligus mengajak teman sekelompok untuk bekerjasama dalam menganalisa dampak perubahan sosial yang terjadi.
Dalam webinar daring yang diselenggarakan di Jurusan Sosiologi dan Antropologi UNNES pada hari Sabtu, 20 Maret 2021, diungkapkan oleh Bapak Kuncoro Bayu Prasetyo, S. Ant., M.A. selaku dosen pengampu mata kuliah Produksi Media Pembelajaran di UNNES, bahwa media pembelajaran buku mumbul sangatlah unik. Buku mumbul yang diterapkan pada mata pelajaran sosiologi di SMAN 11 Semarang merupakan salah satu model ‘best practice’ media pembelajaran yang patut untuk diapresiasi. Karena bisa memanfaatkan barang-barang daur ulang sebagai bahan dasar pembuatan media pembelajaran, yang tentunya ramah lingkungan dan dapat memacu kreatifitas serta antusiasme peserta didik dalam belajar di sekolah. Karena sejatinya, sistem pembelajaran yang inovatif di era merdeka belajar ini diperlukan untuk merangsang pola pikir peserta didik. Guru berperan sebagai fasilitator, harus bisa merubah paradigma pendidikan dengan pola pengajaran lama, manjadi pola pengajaran baru yang lebih terbarukan, inovatif, kreatif dan bermakna bagi peserta didik
Penulis : Sae Panggalih, S.Pd., Guru SMAN 11 Semarang
Editor : Nurul Rahmawati E., M.Pd., Guru SMKN 1 Tuntang
1 komentar
Theresia Melania Sudarwati, Thursday, 25 Mar 2021
Inspiring Pak Sae… Semangaaaat