Pembelajaran Holistik Kontekstual & Kesadaran Sosial-Ekologis

Suasana-suasana alam seperti gemericik air sungai dan ocehan burung di pagi hari, perasaan sejuk-segar saat berteduh diam dibawah pohon yang rindang kala terik matahari, serta suara jangkrik di antara deritan pohon-pohon yang mendesah yang tertiup angin di tengah malam yang sunyi, seakan mewakili dari sekian banyak kesatuan manusia dengan alam sekitar. Deskripsi suasana yang damai, perasaan tentram dan ekspresi keselarasan hidup manusia dengan ciptaanNya yang lain. Gambaran yang sangat kontras saat ini dengan fenomena air bah atau banjir, pemanasan global, bahkan migrasi binatang-binatang buas ke pemukiman penduduk, yang kesemuanya mendatangkan kegamangan, kegelisahan, keprihatian dan kekhawatiran, ketakutan yang mengancam kehidupan manusia. Konon, fenomena-fenomena seperti itu yang menihilkan kedamaian, ketentraman dan keselarasasan hidup atau yang disebut bencana merupakan akibat disposisi mahluk hidup sehingga mengalami disfungsi-abnormal, tidak alami lagi. Termasuk pandemi yang merebak saat ini yang diyakini sebagai respons alam terhadap disposisi dan disfungsi ekologis. Disposisi dan disfungsi ekologis itu mengakibatkan distorsi peran dalam relasi antar individu, antar ciptaan sehingga keluar dari sebuah sistem ekosistem dengan pola saling ketergantungannya sebagai satu kesatuan. Untuk itu di masa mendatang dipandang perlu dibangun sebuah karakter individu dengan kesadaran kemanusiannya yang tidak hanya ketergantungan secara sosial, namun juga secara ekologis di alam sekitar. Bagaimana mengembangkan kesadaran sosial-ekologis? Pembelajaran Holistik, Holistik berasal dari kata “holism” atau “holos” (Yunani) yang berarti semua atau keseluruhan. Pendidikan holistik digagas oleh beberapa tokoh yakni Jean Rousseau, Ralph Waldo Emerson, Henry Thoreau, Bronson Alcott, Johann Pestalozzi, Friedrich Froebel dan Francisco Ferrer dan pengembangan pembelajaran seperti Rudolf Steiner, Maria Montessori, Francis Parker, John Dewey, John Caldwell Holt, George Dennison Kieran Egan, Howard Gardner, Jiddu Krishnamurti, Carl Jung, Abraham Maslow, Carl Rogers, Paul Goodman, Ivan Illich, dan Paulo Freire (Akhmad Sudrajat, 2008).

Pendidikan holistik berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang atau setiap individu hanya dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual sebagai satu kesatuan. Pembelajaran yang dikembangkan bertujuan untuk membantu mengembangkan potensi individu pembelajar dalam suasana yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demokratis dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan pembelajaran holistik, individu pembelajar diharapkan dapat tumbuh menjadi dirinya sendiri (learning to be), dengan kebebasan psikologis yang dimilikinya mampu mengambil keputusan yang baik, dan belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya (Basil Bernstein). Penekanan pembelajaran holistik adalah perhatian akan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana guru mengajar dan bagaimana peserta didik atau siswa belajar. Pertimbangan dalam penerapan pembelajaran holistik, di antaranya menggunakan pendekatan pembelajaran transformatif, prosedur pembelajaran yang fleksibel, pemecahan masalah melalui lintas disiplin ilmu, pembelajaran yang bermakna, dan  melibatkan komunitas di mana individu berada.

Dengan kata lain, pembelajaran ini mendasarkan pada pemikiran bahwa individu (manusia) dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungan bersama (individu lain) dalam masyarakat, lingkungan alam, dengan nilai-nilai spiritual yang tumbuh atau ditumbuhkan. Pendidikan holistik lebih menekankan mendidik manusia secara utuh, sehingga apa yang telah dipelajarinya berkontribusi kepada individu lain dalam masyarakat luas. Dalam proses pembelajaran, setiap individu diarahkan untuk menemukan identitas diri, makna, dan tujuan hidupnya melalui hubungan dengan komunitas, bahkan dengan lingkungan, dunia alam semesta, dalam nilai nilai spiritual kehidupan: perdamaian, kerukunan, ketentraman, kebahagiaan, termasuk perbedaan dan saling ketergantungan satu sama lain. Pembelajaran ini menggunakan pendekatan pendidikan yang sangat manusiawi dan utuh, tidak sepihak atau tidak sepotong-sepotong namun menjadi kesatuan dalam satu sistem yang mengembangkan. Dalam pembelajaran praktis, pandangan holistik ini tidak hanya didasarkan pada pencapaian satu aspek kompetensi saja, melainkan seluruh aspek kompetensi: kognitif, keterampilan dan sikap baik sikap sosial dan maupun rohaniah-spiritual. Bahkan pengembangannya sampai pada penyadaran posisi dan perannya (individu) dalam relasi sosial dengan  individu yang lain dan kesatuan dengan alam sekitar. Semua aspek tersebut tidak bermuara pada satu individu yang terpisah dan mampu hidup sendiri, namun dalam rangka membentuk membentuk sebuah harmoni kehidupan ekologis dengan alam sekitar. Hal ini sejalan dengan upaya mentransformasi pendidikan di masa mendatang dalam mengembangkan sumber daya manusia Indonesia (SDM) unggul secara holistik. Tidak hanya kompetensi literasi dan numerasi, tetapi pendidikan karakter memiliki tingkat kepentingan secara balans sebagai ranah assesmen kompetensi minimal (AKM) yang akan digulirkan yang bertujuan guna mendapatkan gambaran mutu pendidikan secara holistik khususnya untuk aspek-aspek non-kognitif seperti  aspek penilaian sikap yang akan dilakukan melalui survei karakter dan survei lingkungan belajar. Pembelajaran konstekstual merupakan pembelajaran yang mengaitkan materi pembelajaran dengan konteks dunia nyata yang dihadapi siswa sehari-hari baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar maupun gejala sosial yang terjadi saat ini. Dengan pembelajaran kontekstual, siswa diajak membuat analisis hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran kontekstual didasarkan pada tujuh komponen utama pembelajaran yaitu kontruktivisme  (constructivism), bertanya (questioning), menyelidiki  dan menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian autentik (authentic assessment).

Fenomena disposisi mahluk hidup yang berakibat disfungsi ekologis seperti pandemi yang sangat menggangu aktifitas kehidupan dewasa ini menjadi obyek pembelajaran yang sangat kontekstual. Peserta didik diajak untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuannya untuk mencari jawaban tentang apa itu pandemi Covid-19, apa penyebabnya, bagaimana penyebarannya, juga akibat yang ditimbulkannya, termasuk menjawa bersama mengapa harus ada pembatasan sosial, belajar di rumah, lockdown ataupun pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang semuanya menjadi salah satu model penyelesaian masalah pencegahan pendemi dengan protokol kesehatannya. Pada tahap selanjutnya fasilitasi untuk berefleksi, mengapa virus corona mengancam kesehatan dan kenyamanan hidup manusia? Dengan kata lain, virus itu telah mengalami disposisi, menyerang dan menjadikan manusia sebagai habitatnya. Dan muara kontekstualitas adalah bagaimana upaya bersama sebagai reaksi sosial, aksi bersama dalam menghadapi masalah tersebut secara kolektif. Dan pada tahap selanjutnya, topik tersebut dapat dikembangkan dalam fenomena lain seperti banjir bandang, panas yang semakin terik, atau hewan buas yang masuk ke pemukiman? Bukankah itu disposisi dan disfungsi yang tidak alami lagi? Sebuah refleksi yang membawa pemahaman bahwa satu makhluk hidup walaupun amat kecil, tidak kentara sekalipun dapat menjadi sumber masalah bagi kehidupan manusia bila harmoni rusak?

Kesadaran sebagai satu bagian yang tidak terpisahkan menjadi topik tanpa batas dalam pembelajaran di kelas konvensional maupun dalam kelas virtual walaupun dalam sistem jejaring, mereka tetap dapat membangun relasi dalam kelompok-kelompok diskusi yang secara tidak langsung membentuk komunitas belajar. Keseluruhan proses pembelajaran dengan segala dinamikanya sampai pada mengungkapkan gagasan dan membangun kesadaran ekologis dengan makhluk ciptaan yang lain menjadi inti pemikiran holistik-kontekstual. Pemikiran ini mengembangkan kesadaran sosial-ekologis dan semangat untuk mengembangkan kehidupan yang lebih baik damai sejahtera dalam bingkai harmoni perbedaan dan saling ketergantungan, bukankah  makna dan tujuan hidup sesungguhya? Maka dengan pendidikan holistik menjadikan pelajar sebagai pembelajar sepanjang hayat yang tidak hanya berpengetahuan dan berketerampilan namun membentuk individu yang utuh dengan kemanusiaan dan kebersatuannya dengan alam niscaya menjadikan manusia unggul sesuai harapan dan cita-cita transformasi pendidikan di masa mendatang.

 

Penulis : Y. Bangun Widadi, M.Pd., Guru SMAN 1 Bringin

Editor : Nurul Rahmawati, M.Pd., Guru SMKN 1 Tuntang