Pembelajaran Jarak Jauh untuk anak Tunagrahita

Pandemi Covid-19 berimbas pada dunia pendidikan. Pembelajaran tatap muka diganti dengan Pembelajaran Jarak Jauh. Pembelajaran ini dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, Offline PJJ yang dalam prosesnya tidak melibatkan teknologi internet, keadaan yang terbatas karena demograpi dan sumber daya manusia. Kedua, Online PJJ yang dalam prosesnya melibatkan teknologi internet, keadaan dimana signal internet dan SDM  mendukung. Ketiga, Blended  Strategi PJJ yang menggunakan segala macam sumber, baik secara online maupun offline.

Peserta didik dibedakan antara anak normal dan anak berkebutuhan khusus Salah satunya adalah anak tunagrahita. Istilah tunagrahita dalam bahasa Indonesia sering digunakan seperti: lemah ingatan, lemah pikiran, retardasi mental, terbelakanng mental. Sedangkan dalam kepustakaan bahasa asing dikenal dengan istilah: mental reterdation, mentally reterded, deficiency, mental defective dan lain-lain. Menurut Grossman (Mumpuniarti, 2007:7) anak tunagrahita adalah anak yang memiliki kecerdasan intelektual (IQ) secara signifikan berada di bawah rata-rata (normal) yang disertai dengan ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan dan semua ini berlangsung pada masa perkembangannya.

Siswa tunagrahita di SLB Negeri Semarang, ada yang ringan, sedang dan berat. Guru harus  mempertimbangkan beberapa hal dalam melaksanakan Pembelajaran jarak Jauh. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain : Pertama, Menyusun strategi pembelajaran, di dalamnya ada penetapan tujuan, waktu, aktifitas belajar, dan sebagainya, disusun dengan  instruksi yang urut untuk memotivasi orang tua sebagai pendamping. Kedua, menentukan teknologi yang akan digunakan , tidak harus modern, yang penting efektif dan mampu mendukung tujuan belajar. Ketiga, Mensosialisasika proses pembelajaran kepada orang tua. Keempat, monitoring proses belajar.  Waktu monitoring  tidak dibatasi, karena siswa “mau belajar” bukan diatur dengan waktu, tetapi sesuai dengan kondisi emosional anak. Guru  yang mengikuti waktu siswa.. Kelima, Refleksi, refleksi tidak hanya akhir proses, tetapi setiap potongan proses diberikan refleksi untuk menjaga semangat siswa.

Pada intinya dari semua rangkaian proses adalah keterlibatan emosional, empati guru tidak bisa digantikan dengan alat apapun. Respon positip terhadap tindakan yang dilakukan anak, untuk memotivasi dan menjaga kondisi emosional siswa supaya  senang belajar di rumah. Waktu yang kita sediakan untuk  melayani anak tunagrahita dalam pembelajaran jarak jauh adalah 24 jam, tergantung duet antara kemauan dan kemampuan anak dengan  orang tua. Setiap guru memiliki pengalaman dalam pembelajaran dengan anak-anak berkebutuhan khusus, yang memang “khusus”. Anak – anak berkebutuhan khusus bukan produk Tuhan yang gagal, karena Tuhan Maha sempurna, mereka  memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang seperti anak normal lainnya. Semangat dalam pengabdian. Pasti bisa . Luar biasa.

Yana Ekawati

Guru SLB Kota Semarang