Personal branding merupakan bagian penting dan semestinya dilakukan oleh siswa sejak dini, apalagi siswa tersebut sudah memiliki keinginan untuk masuk SMK di bidang industri kreatif. Sejak awal, siswa kelas X Animasi SMK Negeri 11 Semarang sudah ditanamkan untuk terus berkarya sebagai portofolio mereka. Dari portofolio itulah, mereka sebenarnya dapat melakukan personal branding.
Sejak pertama siswa masuk saya selalu tanamkan kepada mereka bahwa bukan nilai di atas kertas, bukan nilai ulangan ataupun nilai-nilai yang tertuang di rapport yang dijadikan pertimbangan pihak industri kreatif ketika seleksi penerimaan tenaga kerja, ataupun penerimaan untuk mengikuti magang, namun justru yang pertama adalah portofolio. Bukan berarti, saya menyepelekan nilai. Nilai itu penting, tapi jauh lebih penting adalah portofolionya. Ketika siswa sudah membuat portofolio berupa karya setiap harinya, apakah itu sudah cukup? Ketika siswa sudah membuat karya setiap harinya, itupun juga belum cukup, karena mereka harus dikenal oleh masyarakat. Personal branding merupakan kelanjutan dari apa yang sudah dilakukan siswa membuat karya setiap harinya. Karya yang dibuat setiap hari dapat melatih konsistensi dan meningkatkan kompetensi, namun personal branding perlu dilakukan agar mereka dikenal oleh masyarakat, terutama masyarakat pengguna jasa maupun pengguna produk-produk karya yang ditawarkan.
Penggunaan market place merupakan salah satu cara untuk membranding diri siswa. Dari market place tersebut siswa dapat memposting karya-karyanya. Namun demikian, tidak semua siswa memiliki keinginan untuk menggunakan market place yang tersedia, karena berbagai hal antara lain siswa tidak tahu tentang market place yang cocok, siswa ragu-ragu dengan karya yang akan diposting, ataupun tidak memiliki kepercayaan diri untuk memposting karya. Dari kendala-kendala tersebut akhirnya dibuatkan sebuah sistem yang dimasukkan dalam pembelajaran.
Ketika pembelajaran berlangsung, semua karya yang dibuat siswa wajib diunggah di instagram dan link instgramnya dikirim ke group whatsapp agar mendapatkan respon balikan dari guru. Cara ini ternyata relatif efektif, karena dari sistem tersebut memaksa diri siswa untuk memiliki akun instagram untuk media memposting karya. Berdasarkan data sebanyak 74% siswa menggunakan instagram untuk memasarkan karya-karyanya. Meskipun 100% siswa menggunakan akun instagram untuk mengunggah karya-karyanya, namun hanya 74% siswa yang merasa bahwa instagramnya tersebut sekaligus sebagai media memasarkan karyanya. Itu artinya, masih ada 26% siswa yang menggunakan instagram hanya sebatas untuk mengumpulkan tugas, bukan untuk memasarkan karyanya.
Market place yang tertinggi yang digunakan oleh siswa dan tidak masuk dalam sistem pembelajaran adalah threadless. Dari data sebanyak 79% siswa menggunakan threadless untuk memasarkan karya-karyanya. Semenjak saya bertemu dengan Mas Dina yang mengenalkan tentang Threadless dan saya share materinya ke siswa, sebagian besar siswa merasa perlu untuk memposting karya-karya di Threadless. Bagi mereka, threadless sebagai media untuk mengunggah karya yang dapat menjadi asset digital, dan jika laku akan mendapatkan royalty. Market place berikutnya yang digunakan siswa adalah sutterstock yaitu mencapai 9% disusul 5% melalui pemasaran langsung dan fiver mencapai 2%.
Inilah yang kami lakukan, sederhana namun bermakna bagi siswa. Mereka tidak lagi mengejar nilai-nilai di atas kertas, namun bagimana membranding diri melalui market place dengan harapan karya-karyanya dapat dikenal oleh masyarakat luas baik secara nasional dan internasional. Harapannya, pada endingnya, mereka akan mendapatkan kemandirian finansial.
Penulis : Diyarko, Guru SMK N 11 Semarang.
Editor : Annisa Erwindani, S.Pd., Guru SMA Islam Hidayatullah.
Komentar Pengunjung