Menurut Soemantri (1996) kata tuna rungu terdiri dari 2 kata, yaitu tuna dan rungu, artinya tuna berarti kurang dan rungu berarti kurang pendengaran. Sehingga, tunarungu dapat diartikan sebagai mereka yang kehilangan pendengaran baik sebagian maupun seluruhnya, menyebabkan pendengarannya tidak memiliki nilai fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan menurut Somad dan Herawati (dalam Suryani, 2009) mengartikan siswa tuna rungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan pendengaran baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga ia tidak dapat menggunakan sebagian atau seluruh alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak dalam kehidupan secara kompleks. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa siswa tuna rungu adalah siswa yang kehilangan sebagian atau seluruh pendengarannya yang mengakibatkan hambatan dalam berkomunikasi dan berbahasa dalam kehidupan sehari-hari sehingga memerlukan pendidikan khusus. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat kita pahami bahwa karakteristik utama dari siswa tunarungu adalah kurangnya kemampuan dalam memperoleh bunyi bahasa dari lingkungannya. Sehingga, mereka mengalami kesulitan dalam kemampuan berbahasa dan berkomunikasi. Siswa tunarungu tidak menghayati adanya bunyi latar belakang seperti siswa normal tetapi bukan berarti mereka tidak bisa menghayati seluruh bunyi yang ada. Kebanyakan siswa tunarungu masih memiliki sisa pendengaran pada daerah nada tinggi atau nada rendah. Siswa tunarungu yang masih mempunyai banyak sisa pendengaran dapat menghayati bunyi lewat pendengarannya tetapi untuk siswa tunarungu yang sisa pendengarannya amat kecil mereka akan menghayati bunyi-bunyian lewat perasaan vibrasinya. Untuk melatih kemampuan tersebut, maka siswa tunarungu perlu diberikan program pembelajaran khusus di SLB yaitu program khusus PKPBI.
PKPBI singkatan dari Pengembangan Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama, merupakan pembinaan dalam penghayatan bunyi yang dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja, sehingga sisa-sisa pendengaran dan perasaan vibrasi yang dimiliki siswa-siswa tunarungu dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk berintegrasi dengan dunia sekelilingnya yang penuh bunyi. Pembinaan secara sengaja yang dimaksud adalah bahwa pembinaan itu dilakukan secara terprogram; tujuan, jenis pembinaan, metode yang digunakan dan alokasi waktunya sudah ditentukan sebelumnya. Sedangkan pembinaan secara tidak sengaja adalah pembinaan yang spontan karena siswa bereaksi terhadap bunyi latar belakang yang hadir pada situasi pembelajaran di kelas, seperti saat tiba-tiba siswa merasakan dan/atau mendengar bunyi helikopter yang melintas di sekolah, yang kemudian guru membahasakannya dan memasukkan di dalam program pembelajaran. Dalam melaksanakan PKPBI di kelas ada 2 prinsip khusus yang harus dipahami sebagai prasyarat sebelum melakukan kegiatan inti PKPBI. Prinsip khusus tersebut adalah keterarahwajahan dan keterarahsuaraan.
Keterarahwajahan diartikan sebagai suatu cara bagi siswa tunarungu untuk membaca atau mengungkapkan ucapan orang lain, sehingga mempermudah siswa untuk memahami orang lain disekitarnya. Dengan demikian keterarahsuaraan adalah sikap siswa untuk selalu memperhatikan suara yang terjadi di sekelilingnya. Dengan demikian, siswa tunarungu dapat fokus dan memahami pembicaraan atau situasi tertentu. Oleh karena itu, siswa tunarungu perlu mengembangkan sisa pendengarannya guna memperlancar interaksinya dengan lingkungan sekitarnya. Sedangkan keterarahsuaraan adalah cara untuk memperhatikan dan memahami bunyi di sekelilingnya yang perlu dikembangkan siswa sehingga sisa pendengarannnya dapat dikembangkan agar mempermudah mereka berinteraksi dengan guru dan teman di lingkunagannya. Dengan kata lain, kemampuan ini mencakup kemampuan untuk tanggap terhadap apa yang ingin dikatakan anak. Dalam berkomunikasi, siswa tunarungu memiliki banyak hal yang ingin diungkapkan, tetapi karena tidak mempunyai kosa kata yang memadai maka siswa akan kebingungan dan menggunakan berbagai cara untuk mengungkapkan dirinya. Oleh karena itu, guru perlu segera tanggap untuk menerjemahkan atau membahasakan keinginan siswamenjadi ujaran maupun simbol non verbal dengan tepat.
Keterarahwajahan dan keterarahsuaraan merupakan prinsip dasar yang harus dipahami guru dalam melaksanakan program khusus PKPBI di kelas. Dalam pengaplikasian 2 prinsip dasar tersebut, guru juga harus memperhatikan beberapa faktor agar materi PKPBI dapat tersampaikan kepada siswa dengan tepat. Faktor tersebut di antaranya adalah guru harus mampu berbicara dengan lafal yang jelas, tidak boleh terlalu cepat, dan kalimat yang diucapkan harus menggunakan kata-kata yang dapat dipahami peserta didik. Selain itu, penentuan posisi tempat duduk siswa juga harus tepat. Biasanya di kelas tunarungu, penempatan posisi duduk diatur dengan posisi letter U agar siswa mampu melihat dan memahami lawan bicaranya dan dapat dengan jelas memperhatikan wajah guru. Faktor pertimbangan lainnya adalah penggunaan media pembelajaran. Peserta didik tunarungu mengalami kesulitan untuk memahami ujaran guru sepenuhnya. Oleh karena itu, penggunaan media pembelajaran harus diupayakan untuk mempermudah peserta didik tunarungu memahami kata yang diajarkan. Prinsip pembelajaran PKPBI perlu dipahami guru tunarungu, agar pembelajaran PKPBI yang sudah direncanakan dapat terealisasi sesuai dengan capaian pembelajaran yang telah ditentukan. Dengan mengetahui prinsip tersebut, diharapkan program khusus PKPBI dapat membantu siswa tunarungu untuk mengembangkan kemampuan komunikasi dan bahasa siswa tunarungu. Seperti meningkatkan kepekaan kemampuan mempersepsi bunyi dan perasaan vibrasi. Sehingga siswa tunarungu dapat melakukan kontak dengan dunia.
Penulis : Ullip Utrofin, S.Pd., Guru SLBN Ungaran
Editor : Nurul Rahmawati, S.Pd., Guru SMKN 1 Tuntang
Komentar Pengunjung