Waspadai  Peserta Didik Yang Berkesulitan Belajar

Kemampuan peserta didik sangatlah beragam yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya disebabkan oleh faktor kesulitan belajar. Setiap peserta didik memiliki perbedaan dalam perkembangan yang dialami, kemampuan yang dimiliki, dan hambatan yang dihadapi. Oleh karena itu, ketika seorang pendidik berhadapan dengan para peserta didiknya hendaknya dari sudut pandang yang positif dan selalu melihat adanya harapan bahwa para peserta didik –dengan beragam latar belakang dan keunikannya- akan dapat berkembang secara optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Sudut pandang seperti inilah yang mendorong para pendidik untuk bersikap optimis dan tidak pernah menyerah.

Pendidikan idealnya memposisikan peserta didik sebagai pusat aktivitas dalam pembelajaran. Aktivitas pendidikan akan dipusatkan kepada apa yang dibutuhkan oleh peserta didik, karena fungsi pendidikan antara lain untuk memfasilitasi agar peserta didik dapat berkembang menjadi dirinya sendiri secara optimal sejalan dengan potensi yang dimilikinya.

Banyak definisi dari kesulitan belajar, antara lain dikemukakan oleh Canadian Association for Children and Adults with Learning Disabilities (2001), bahwa peserta didik yang mengalami kesulitan belajar adalah mereka yang tidak mampu mengikuti pelajaran di sekolah meskipun tingkat kecerdasannya termasuk rata-rata, sedikit di atas rata-rata, atau sedikit di bawah rata-rata.

Kirk dan Gallagher (1999:187) menjelaskan bahwa kesulitan belajar dibedakan menjadi 2 kategori global, yaitu (1) kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan (developmental learning disabilities) dan (2) kesulitan belajar akademik (academic learning disabilities). Kedua kategori kesulitan belajar tersebut dapat nyata terlihat pada peserta didik usia sekolah dasar melalui perkembangan penguasaannya pada aspek ingatan, motorik, persepsi, berbahasa, berpikir, membaca, menulis, dan berhitung. Akan tetapi, bukan berarti permasalahan kesulitan belajar tidak dialami oleh peserta didik pada jenjang menengah. Hallahan dan Kauffman (2011:127-128) mengemukakan tiga faktor penyebab kesulitan belajar, yaitu pertama faktor organis/biologis. Banyak ahli yang meyakini bahwa timbulnya kesulitan belajar pada anak disebabkan oleh adanya disfungsi system syaraf pusat yang dipicu oleh hal-hal seperti (a) cedera otak pada masa perkembangan otak; (2) ketidakseimbangan zat-zat kimiawi di dalam otak; (3) gangguan perkembangan syaraf, dan (4) kelambatan proses perkembangan individu.

Yang kedua faktor genetis. Faktor genetis atau keturunan menurut para ahli juga merupakan salah satu penyebab kesulitan belajar bagi peserta didik. Yang ketiga faktor Lingkungan. Anak berkesulitan belajar yang disebabkan oleh faktor lingkungan sangat sulit untuk didokumentasikan, padahal permasalahan tersebut dewasa ini semakin nampak terlihat dan mengancam para peserta didik dari usia dini hingga usia remaja bahkan dewasa. Sering dijumpai masalah dalam belajar yang disebabkan oleh faktor lingkungan, misalnya guru-guru yang tidak mempersiapkan program pengajarannya dengan baik, kondisi keluarga peserta didik yang tidak menunjang misalnya karena broken home, pengaruh gadget yang semakin mendominasi kehidupan manusia, dan sebagainya.

Sebagian ahli psikologi menempatkan faktor lingkungan bukan sebagai faktor primer penyebab kesulitan belajar peserta didik, melainkan sekedar menduduki posisi faktor penyebab sekunder. Namun tak dipungkiri seiring perkembangan zaman, justru faktor inilah yang kemudian begitu signifikan berpengaruh dalam perkembangan peserta didik. Sejalan dengan hal tersebut, Kirk dan Gallagher mengemukakan  faktor-faktor yang dapat memperberat kesulitan belajar pada peserta didik, yaitu pertama kondisi fisik. Kondisi fisik seperti gangguan visual, gangguan pendengaran, gangguan keseimbangan dan orientasi ruang, body image yang rendah, dan sebagainya dapat menjadi faktor yang memperberat masalah kesulitan belajar. Kondisi fisik ini tidak selalu merupakan faktor bawaan dari lahir, namun juga dapat disebabkan oleh faktor eksternal misalnya merokok, penggunaan obat-obat terlarang, minuman keras, gaya hidup yang tidak sehat, dan sebagainya.

Kedua faktor lingkungan. Lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah yang kurang kondusif bagi anak akan menghambat perkembangan sosial, psikologis, dan pencapaian prestasi akademis. Pengalaman yang mengguncangkan jiwa, perasaan tertekan dalam keluarga, dan kesalahan pendekatan dalam pembelajaran guru di sekolah juga dapat menghambat kemajuan belajar dan proses berpikir. Sementara ketiga faktor motivasi dan afeksi. Peserta didik yang selalu gagal pada nilai-nilai akademis akan cenderung menjadi tidak percaya diri, mengabaikan tugas, dan rendah diri. Sikap ini akan mengurangi motivasi belajar dan memunculkan perasaan serta stereotip negative pada diri sendiri. Khususnya pada hal-hal yang berhubungan dengan sekolah, kegagalan ini dapat membentuk pribadi peserta didik menjadi pelajar yang pasif.

Yang terakhir kondisi psikologis. Peserta didik yang sering mengalami kegagalan akan mengalami frustasi, yang pada akhirnya jika tidak dapat dikelola dengan baik akan melahirkan perbuatan-perbuatan negative seperti bergabung dengan teman-teman yang merasa senasib dan terjerumus dalam pergaulan yang tidak seharusnya misalnya tawuran pelajar, pergaulan bebas, kriminalitas, mengkonsumsi narkoba, dan sebagainya.

Menghadapi peserta didik dengan kesulitan belajar, guru harus mempelajari dan menguasai cara-cara mengintervensi peserta didik dengan kesulitan belajar tersebut sehingga dapat mengatasi atau paling tidak meminimalisasi permasalahan yang ada, yang pada akhirnya diharapkan guru dapat mengembangkan potensi peserta didik secara optimal, terlebih bagi peserta didik sekolah menengah yang sedang dalam proses pencarian jati diri.

Intervensi terhadap peserta didik yang mengalami kesulitan belajar, secara sistematis dapat dilakukan melalui tahapan-tahapan yang pertama identifikasi masalah. Identifikasi masalah dilakukan dengan mengobservasi dan menginventarisasi permasalahan yang dihadapi peserta didik. Untuk mengidentifikasi masalah, guru dapat melakukan asesmen baik secara formal maupun informal kemudian menganalisis hasil asesmen tersebut. Yang kedua diagnosis. Langkah ini dimaksudkan untuk menemukan akar penyebab kesulitan belajar yang dihadapi oleh peserta didik, dengan menarik benang merah dari identifikasi masalah yang telah dilakukan. Tahapan ini memiliki peran yang penting untuk menentukan program layanan yang sesuai bagi peserta didik berkesulitan belajar.

Penyusunan program layanan sebagai cara ketiga menginterverensi. Program layanan intervensi dalam belajar dibedakan menjadi dua, yaitu program delivery dan kurikuler. Program delivery merupakan layanan bantuan belajar yang dilakukan dengan mendatangkan guru khusus untuk membantu peserta didik tersebut; sedangkan program kurikuler dilakukan dengan memberikan layanan remedial teaching bagi peserta didik yang mengalami kesulitan belajar. Dan terakhir evaluasi. Kegiatan evaluasi ditujukan pada 2 sasaran yaitu hasil dan proses bantuan. Keberhasilan layanan bantuan belajar terlihat dari berkurangnya kesulitan belajar yang dihadapi oleh peserta didik. Adapun penilaian proses dimaksudkan untuk menganalisis pelaksanaan bantuan mulai dari tahap perencanaan, penyusunan program, sampai pada kegiatan layanan bantuan. Melalui penilaian proses akan dapat dideteksi kelemahan-kelemahan ataupun hal-hal yang dapat menunjang kegiatan layanan bantuan. Dari hasil penilaian tersebut, guru dapat menyusun program baru berdasarkan pada permasalahan kesulitan belajar yang belum terselesaikan.

Demi memperoleh hasil terbaik dalam penyelesaian permasalahan kesulitan belajar pada peserta didik, guru hendaknya mengkomunikasikan kesulitan belajar yang dialami tersebut dengan orang tua dan sedapat mungkin bersinergi mencari solusi permasalahan tersebut. Bagaimanapun keluarga merupakan lingkungan primer bagi seorang individu yang tentu saja sangat berpengaruh terhadap perkembangan individu tersebut termasuk dalam hal pencapaian keberhasilan akademisnya. Jika kesulitan belajar pada peserta didik telah dapat diatasi diharapkan peserta didik tersebut dapat mengejar ketertinggalannya dan mampu sejajar dengan teman-temannya, yang pada akhirnya tentu hal ini akan mengubah mind set dan kepercayaan dirinya sehingga peserta didik mampu tumbuh dan berkembang menjadi pribadi mandiri yang berintegritas sesuai tugas-tugas perkembangannya.

Penulis : Umi Khoiriyah, Guru SMKN  Pabelan