Peran guru sesuai dengan konsep Ki Hajar Dewantara mengingatkan bahwa tujuan pendidikan adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh sebab itu pendidik hanya dapat ‘menuntun’ tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak. Dalam proses menuntun tersebut, anak diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan potensi bakat dan minatnya sebagai individu yang unik, akan tetapi guru sebagai pamong harus memberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Guru sebagai pamong dapat memberikan tuntunan agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar. Pertanyaannya adalah karakter seperti apa yang bisa menyiapkan murid menjadi manusia dan anggota masyarakat untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi tingginya sebagai manusia? Kita dapat melakukan refleksi tentang pemikiran ki Hajar Dewantara bahwa dalam menuntun anak mesti sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam berkaitan dengan sifat dan bentuk lingkungan di mana anak berada. Sedangkan kodrat zaman berkaitan dengan isi dan irama.
Dalam menuntun anak, pendidik hendaknya melakukan pembaharuan yang terpadu selalu berpihak pada kepentingaan anak jangan meninggalkan kodrat keadaan baik alam maupun zaman dan mengutamakan budi pekerti. Di sinilah peran guru dalam membentuk karakter murid agar terwujud budaya positif. Menurut Ki Hajar Dewantara, budi pekerti atau watak atau karakter merupakan perpaduan gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Budi pekerti dapat juga diartikan sebagai perpaduan anatara cipta (kognitif), karsa (afektif), sehingga menciptakan karya (psikomotor). Keluarga menjadi tempat yang utama dan paling baik melatih sosial dan karakter baik bagi seorang anak. Dalam membentuk karakter anak diperlukan kerjasama antara beberapa komponen penting yang setiap komponen tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Komponen yang dapat membentuk kepribadiaan anak dihimpun bentuk agen yang terdiri atas keluarga, sekolah, masyarakat, lingkungan sosial, dan media massa. Kesemuanya sangatlah berpengaruh akan karakter anak di dalam hidup bermasyarakat. Sekolah menjadi salah satu tempat yang sangat penting bagi tumbuh kembang murid dalam proses pengembangan dirinya. Tidak hanya dalam bidang akademik, prestasi non akademik pun memiliki peran yang sangat besar dalam mendukung prestasi dan pencapaian masa depan murid sesuai dengan kodratnya. Selama proses pembelajaran di satuan pendidikan, khususnya pendidikan vokasi, murid dituntut memiliki kompetensi yang selaras dengan standar industri serta mampu mengembangkan karakternya yang unggul. Hal tersebut bagai dua mata uang yang tak terpisahkan yang melekat dalam diri murid, dan akan bermanfaat saat lulus dan mewujudkan jenjang karirnya, baik bekerja, berwirausaha, maupun melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Budaya sekolah menurut Fullan (2007) adalah keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai yang terlihat dari bagaimana sekolah menjalankan aktivitas sehari-hari. Sedangkan Deal dan Peterson (1999) mendefinisikan budaya sekolah sebagai berbagai tradisi dan kebiasaan keseharian yang dibangun dalam jangka waktu yang lama oleh guru, murid, orang tua, dan staf administrasi yang bekerjasama dalam menghadapi berbagai krisis dan pencapaian. Dari kedua pengertian tersebut kita melihat bahwa budaya sekolah merupakan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang dibangun dalam jangka waktu lama yang tercermin pada sikap keseharian seluruh komponen sekolah. Dalam kebanyakan sekolah di Indonesia, contoh budaya sekolah yang sudah berjalan dengan baik adalah budaya senyum, salam dan sapa. Tentunya, budaya sekolah tersebut masih perlu dilaksanakan mengingat perannya yang dapat membuat sekolah menjadi lingkungan yang nyaman. Jadi budaya positif di sekolah ialah nilai-nilai, keyakinan-keyakinan dan kebiasaan-kebiasaan di sekolah yang berpihak pada murid agar murid dapat berkembang menjadi pribadi yang kritis, penuh hormat dan bertanggung jawab. Dalam mewujudkan budaya positif ini, guru memegang peranan sentral. Guru perlu memahami posisi apa yang tepat untuk dapat mewujudkan budaya positif baik lingkup kelas maupun sekolah. Selain itu, pemahaman akan disiplin positif juga diperlukan karena sebagai pamong, guru diharapkan dapat menuntun murid untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Oleh karena itu selanjutnya, anda akan mempelajari dua konsep yaitu posisi kontrol guru dan disiplin positif yang menjadi landasan dari budaya positif.
Tujuan membangun budaya positif di sekolah adalah menumbuhkan karakter anak. Kita semua percaya bahwa tujuan penting sekolah adalah pembentukan karakter. Itulah mengapa banyak program sekolah yang bertujuan untuk menumbuhkan karakter murid. Misalnya program kantin kejujuran dengan tujuan menumbuhkan karakter jujur pada murid atau program literasi dan numerasi dengan tujuan untuk menumbuhkan karakter kritis pada murid. Adapun karakter yang diharapkan menjadi manusia dan anggota masyarakat untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan seperti tujuan pendidikan nasional kita adalah seperti yang tercantum dalam profil pelajar pancasila yakni Beriman, Bertaqwa kepada Tuhan YME dan Berakhlak Mulia, Kreatif, Gotong Royong, Berkebhinekaan Global, Bernalar Kritis dan Mandiri. Dalam membangun budaya positif tentu bukanlah tugas seorang guru saja tentunya semua komponen sekolah berperan penting dalam membangun budaya positif di sekolah. Bagaimana semua komponen sekolah berperan dalam membangun budaya positif di sekolah?
Membuat kesepakatan kelas sebagai langkah awal dalam membangun budaya positif yang berpihak pada murid. Upaya dalam membangun budaya positif di sekolah yang berpihak pada murid diawali dengan membentuk lingkungan kelas yang mendukung terciptanya budaya positif, yaitu dengan menyusun kesepakatan kelas. Kesepakatan kelas yang efektif dapat membantu dalam pembentukan budaya disiplin positif di kelas. Hal ini juga dapat membantu proses belajar mengajar yang lebih mudah dan tidak menekan. Seringkali permasalahan dengan murid berkaitan dengan komunikasi antara murid dengan guru, terutama ketika murid melanggar suatu aturan dengan alasan tidak mengetahui adanya aturan tersebut. Kurang adanya komunikasi ini menyebabkan relasi murid dan guru menjadi kurang baik. Kesepakatan kelas berisi beberapa aturan untuk membantu guru dan murid bekerja bersama membentuk kegiatan belajar mengajar yang efektif. Kesepakatan kelas tidak hanya berisi harapan guru terhadap murid, tapi juga harapan murid terhadap guru. Kesepakatan disusun dan dikembangkan bersama-sama antara guru dan murid.
Dalam menyusun kesepakatan kelas, guru perlu mempertimbangkan hal yang penting dan hal yang bisa dikesampingkan. Murid dapat mengalami kesulitan dalam mengingat banyak informasi, jadi susunlah 4 sampai 8 peraturan untuk setiap kelas. Jika berlebihan, murid akan merasa kesulitan dan tidak mendapatkan makna dari kesepakatan kelas tersebut. Kesepakatan harus disusun dengan jelas sehingga murid dapat memahami perilaku apa yang diharapkan dari mereka. Kesepakatan yang disusun sebaiknya mudah dipahami dan dapat langsung dilakukan. Oleh karena itu, dalam kesepakatan kelas gunakan kalimat positif seperti ‘Saling menghormati’ dan ‘Temanku Saudaraku.’ Kalimat positif lebih mudah dipahami murid dibandingkan kalimat negatif yang mengandung kata seperti ‘dilarang’ atau ‘tidak.’ Kesepakatan perlu dapat diperbaiki dan dikembangkan secara berkala, seperti setiap awal semester. Untuk mempermudah pemahaman murid, kesepakatan dapat ditulis, digambar, atau disusun sedemikian rupa sehingga dapat dipahami dan disadari oleh murid. Strategi lain adalah dengan mencetaknya di setiap buku laporan kegiatan murid. Hal ini menjadi strategi yang baik untuk meningkatkan komunikasi antara orang tua dan pihak sekolah.
Adapun penerapan budaya positif yang sudah dilakukan adalah pertama terbentuknya keyakinan kelas yang dibuat dan disepakati oleh peserta didik bersama walikelas dan guru mata pelajaran. Kedua, menguatnya karakter positif seperti berakhlak mulia yang ditunjukkan dengan semakin bertambahnya peserta didik yang ikut shalat berjama’ah di Mesjid Sekolah dan mengikuti kegiatan esktrakurikuler keagamaan. Serta peduli sesama manusia yang mengalami musibah dan peduli lingkungan ditunjukkan dengan kesadaran peserta didik sendiri untuk membuang sampah pada tempatnya. Ketiga, menguatnya karakter peduli terhadap teman yang membutuhkan dukungan belajar. Hal ini ditunjukkan dengan menjadi tutor sebaya bagi temannya yang remedial. Keempat, meningkatnya kedisiplinan siswa dalam kehadiran tepat waktu dan kelengkapan atribut berseragam. Kelima, menguatnya karakter bertanggungjawab terhadap tugas yang diberikan baik tugas mata pelajaran maupun yang berkaitan dengan kerapian dan kebersihan kelas. Keenam, tumbuhnya karakter berdaya nalar kritis yang ditunjukkan dengan meningkatnya dari minggu ke minggu peserta didik aktif bertanya, menjawab, berpendapat atau berargumen. Ketujuh, adanya Poster Keyakinan kelas yang dipajang di kelas. Kedelapan, peserta didik sudah menunjukkan 5S (Senyum, Salam, Sapa, Sopan dan Santun) dan budaya industri 5R (Rapi, Ringkas, Rawat, Rajin, Resik). Kemudian, terlaksananya kegiatan Jumat Religi, Jumat Sehat, Jumat Bersih, dan upacara bendera setiap hari Senin dan upacara hari besar nasional. Terakhir, pembiasaan di awal pembelajaran menyanyikan lagu Indonesia Raya, berdoa bersama, dan di akhir pembelajaran mendengarkan lagu lagu nasional.
Penulis : Arrafiatus Supriyyah, S.Pd, M.Pd., Guru SMKN 2 Semrang
Editor : Nurul Rahmawati, S.Pd., Guru SMKN 1 Tuntang
Komentar Pengunjung