“Pernikahan Dini” antara Sekolah & Industri

Bahagia ketika 6 siswa kelas X Animasi SMK Negeri 11 Semarang diterima untuk mengikuti magang atau praktik kerja lapangan. Nesya, Yasin, Benedictus, Delvito, Rafael dan Farel setelah mengirimkan portofolio berupa tes pembuatan modeling 3D menggunakan software blender, akhirnya diterima magang di Keitoto. Dari 10 siswa yang mengikuti seleksi, ada 6 siswa yang layak untuk mengikuti magang selama 6 bulan. Mengapa kelas X sudah bisa diterima magang? Ada beberapa hal yang dilakukan saat pembelajaran dan sudah menjadi bagian dari proses pembelajaran diferensiasi produk. Kami mengenal ini justru jauh sebelum kurikulum merdeka. Siswa yang memiliki passion di bidang modeling 3D, proses pembelajaran produktif animasinya lebih banyak menyelesaikan project-project modeling 3D. Benedictus bahkan sejak kelas X sudah berani menerima pesanan desain interior meskipun harganya masih murah. Bukan harganya, namun ia belajar menyelesaikan project riil sehingga belajar bagaimana mengatur waktu, menyesuaikan keinginan pemesan dan berkomunikasi.

Mereka juga berkelompok mencoba belajar secara mandiri membuat modeling 3D dengan mengupdate tema-tema sesuai dengan pasar yang sesuai waktunya. Proses belajar yang konsisten inilah yang membuat karya-karyanya dilirik oleh industri, salah satunya adalah Keitoto. Bahagia ketika melihat surat di atas, karena belum waktunya magang, mereka sudah mendapatkan kesempatan belajar di industri dan mendapatkan jaminan akan dilatih oleh para profesional di studio tersebut. Bahkan untuk keperluan transport dari rumah ke tempat studio akan mendapatkan bantuan dari studio Keitoto. Di samping itu, selama 6 bulan mereka mendapatkan jaminan bisa meningkat kompetensinya. Inilah yang kami sebut pernikahan dini antara sekolah dan industri. Ketika kurikulum merdeka memberikan waktu magang di kelas XII, melalui proses ini, ada beberapa siswa yang siap magang di kelas X. Ini bersifat kasuistik, karena tidak semua siswa melaksanakan kegiatan seperti ini. Hanya siswa-siswa tertentu yang bisa melaksanakan seperti ini. Inilah cara kami memaknai merdeka belajar, tidak harus seragam karena setiap individu itu unik.

 

Penulis: Diyarko, SMKN 11 Semarang

Editor  : Nurul Rahmawati, M.Pd., Guru SMKN 1 Tuntang