Mensiasati Pembelajar Di SLB Pada Masa Pandemi Covid-19

HIRUK PIKUK permasalahan yang muncul selama pembelajaran jarak jauh tentang biaya operasional sekolah, guru, kurikulum, media pembelajaran dan evaluasi lebih mengarah ke siswa normal. Padahal ada sekolah untuk siswa berkebutuhan khusus yang biasa disebut sekolah luar biasa (SLB). Meskipun persentase anak berkebutuhan khusus relatif kecil dibandingkan dengan anak normal, hak mereka tetaplah sama.

Bagaimana dengan SLB? Jawabannya membutuhkan energi besar dan pemikiran serius. Saya kebetulan guru di SLB Jawa Tengah, selain mengajar juga terlibat urusan manajemen. Kadang masih kebingungan menerapkan kebijakan yang definitif. Misalnya, bagi siswa sekolah, memakai seragam lengkap dengan atributnya dan bersepatu merupakan kewajiban yang harus ditaati oleh setiap siswa. Namun oleh karena ada aktivitas di kelas yang tak memungkinkan bersepatu, pelaksanaan kewajiban itu menjadi sulit. Dengan pengalaman dan kreativitas semua itu bisa diatasi.

Secara umum SLB setara dengan sekolah berstandar nasional. Mungkin kemudian ada yang bertanya, lalu apa masalahnya? Bukankah SLB selama ini baik-baik saja? Bila dicermati, pelaksanaan pembelajaran di SLB ada banyak hal yang muskil menjadi realita. Hal itu menjadi masalah yang harus dipecahkan. Satu contoh kasus, siswa berkebutuhan khusus tuna grahita, karena keterbatasan ruang kelas di lantai satu, terpaksa ditempatkan di kelas di lantai dua. Tanpa dideskripsikan secara detail, siswa-siswa tuna grahita naik tangga dan menuruninya, sudah bisa dibayangkan, itu persoalan.

Guru yang mengajar di SLB, secara umum telah memiliki syarat memadai, yaitu berijzah S1 dan telah bersertifikasi profesi guru. Namun pada kenyataannya, itu saja tak cukup. Sebab kebutuhan pembelajaran siswa berkebutuhan khusus memerlukan keterlibatan emosi yang ekstra. Pembelajaran harus benar-benar interktif, antara siswa dan guru mengharuskan terjadi komunikasi timbal balik yang aktif dan intensif. Apabila tidak, hampir dapat dipastikan ada siswa yang “ngambek” karena merasa dicuekin. Karena itu dibutuhkan guru yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual yang tinggi. Tanpa itu proses belajar terasa pahit.

Sejak awal tahun 2020 karena pandemi Covid-19, pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia memutuskan agar siswa belajar di rumah. Berikutnya ditetapkan pembelajaran jarak jauh (BJJ) dengan menggunakan teknologi internet. Tetapi hal itu ternyata menambah daftar masalah lebih panjang. Apalagi bagi SLB dan siswa berkebutuhan khusus.

Untuk mensiasati pembelajaran di era pandemi bagi siswa berkebutuhan khusus, ditempuh langkah-langkah, pertama komunikasi intens antara guru dan orangtua siswa. Kedua inventerisasi alat yang mendukung proses pembelajaran. Ketiga disusun detail materi aktivitas belajar siswa di rumah. Berikutnya pelaksanaan dan evaluasi. Kenyataannya, tak semua siswa mau beraktivitas belajar. Proses pembelajaran nihil, hasil belajar pun nihil. Solusinya, visit guru dan pemberian materi belajar privat.

 

Gini Maruki, S.Pd.,M.Pd, Guru SLBN Semarang