Karya tersebut merupakan hasil ilustrasi dari salah satu siswa kelas X Animasi SMK Negeri 11 Semarang yang bernama Serenade Tresora Riyadi. Gambar ilustrasi ini dibuat dengan android yang dimilikinya, karena fasilitas komputer atau laptop belum ia miliki. Jika diperhatikan lagi dari gambar kedua yaitu sebuah gambar karakter game harith mobile legends, sekilas gambar pertama sedikit ada kesamaan namun banyak perbedaannya. Perbedaan itu tidak hanya dari posenya, ada beberapa bagian dari wajah yang berbeda seperti bagian mulut yang ada taringnya, matanya yang sedikit sipit, serta asesoris yang digunakan. Gambar ilustrasi ilustrasi buatan Serenade tersebut merupakan hasil karya dari challenge ke-8 dengan judul karakter game pada project kolaborasi antara mata pelajaran sketsa, dasar-dasar seni rupa dan dasar kreativitas di jurusan animasi SMK Negeri 11 Semarang.
Challenge ini diberikan berdasarkan survei bahwa mayoritas siswa menyukai game. Game memang permainan yang mengasyikkan bahkan sering lupa waktu ketika bermain game. Namun ketika siswa dilarang bermain game, justru siswa semakin asyik untuk bermain game tersebut. Saya tidak melarang siswa bermain game, namun melalui challenge ini saya memberikan pertanyaan yang membawa pada proses kesadaran diri agar siswa dapat secara bijak dalam bermain game. “Selama ini kita sebagai pengguna game. Apakah kalian terpikir untuk membuat game? Kira-kira apa saja yang dibutuhkan dalam pembuatan game?”, sekilas pertanyaan tersebut saya lontarkan di dalam tulisan pengantar pada challenge ini. Pertanyaan ini memantik siswa agar siswa tidak sekedar menjadi konsumtif sebagai pemain game, namun lebih dari itu untuk menantang siswa sebagai produsen game. Salah satu yang dibutuhkan dalam pembuatan game adalah karakter yang ada di dalam game itu sendiri dan ide cerita permainan game, termasuk algoritma game itu bisa dijalankan. Orang yang berkecimpung di dunia seni kreatif biasanya bekerjasama dengan pembuat game, terutama dalam pembuatan karakter game dan latar atau background di game tersebut. Ulasan tersebut memberikan pemahaman bahwa siswa yang saat ini masuk di jurusan animasi dapat mengambil peran sebagai pembuat karakter game atau pembuat ide cerita maupun pembuat background dan environmentnya.
Di dalam challenge ini siswa diminta untuk memilih karakter game yang paling sukai, selanjutnya membuat gambar dari karakter game tersebut dan modifikasi sesuai kreativitas siswa. Gambar ilustrasi dari Serenade tersebut merupakan hasil dari proses “Tri No”, yaitu Niteni, Nirokake dan Nambahi. Menurut Ki Hajar Dewantara untuk mempelajari segala sesuatu bisa ditempuh dengan cara “mengenali dan mengingat” sesuatu yang dipelajari yang dikenal istilah niteni, menirukan sesuatu yang dipelajari yang disebut dengan nirokake, serta mengembangkan sesuatu yang dipelajari yang disebut dengan nambahi. Ajaran ini sudah dikenalkan oleh Ki Hajar Dewantara sejak lama dan masih sangat relevan dengan proses pembelajaran yang terjadi saat ini. Imajinasi dalam berkarya di bidang ilustrasi seperti membuat karakter game akan muncul dari proses belajar yang terus menerus dengan tahapan mengenali (niteni), dilanjutkan dengan meniru dan akhirnya nambahi.
Sebagian guru di bidang gambar yang idealis sangat mengharamkan proses ngeblat atau tracing, karena dipandang akan mematikan imajinasi. Siswa yang melakukan proses tracing dianggap mencuri karya orang lain. Namun apabila di kaji lebih lanjut, proses tracing ini sangat perlu sebagai langkah awal siswa sebelum masuk pada tahap selanjutnya yaitu memodifikasi (nambahi). Setiap anak memiliki potensi yang berbeda dan memiliki kemampuan awal yang berbeda-beda. Apabila proses dan cara mendidiknya disamakan justru akan menjajah kemerdekaan siswa. Dapat dibayangkan, ketika di awal saja siswa belum mengenal dan mampu membuat gambar yang proporsional, apa yang terjadi ketika diberikan cara yang sama yaitu membuat gambar yang proporsional tanpa meniru terlebih dahulu. Tentu saja, siswa yang akan semakin stres, tidak percaya diri karena gambarnya selalu tidak proporsional. Cara-cara yang pembelajaran yang berbeda untuk setiap anak menjadi solusi yang tepat untuk menuntun siswa sehingga outputnya menghasilkan gambar yang proporsional meskipun kecepatannya berbeda-beda. Proses “Tri No” sangat relevan dengan proses pembelajaran ini. Siswa yang belum sepenuhnya mampu membuat gambar yang proporsional, maka perlu diberikan tantangan membuat gambar dari proses niteni, nirokake dan nambahi. Di awal-awal siswa ini perlu diberikan kesempatan untuk mengenali dari gambar yang sudah ada, selanjutnya diberi kesempatan untuk nirokake berupa kegiatan ngeblat atau tracing dalam beberapa kegiatan dan akhirnya ketika saatnya dapat naik level, maka proses selanjutnya diminta untuk memodifikasi (nambahi). Ketika siswa dengan kemampuan awal yang sudah bagus, maka proses memodifikasi (nambahi) dapat dilakukan lebih cepat dan akhirnya dapat masuk pada proses membuat karya dengan imajinasinya sendiri. Lebih manusiawi bukan? Semoga menginspirasi.
Penulis: Diyarko
Komentar Pengunjung