Menjadikan Guru Sebuah Profesi Membanggakan

Pada suatu ketika lini masa facebook dan grup Whatsapp terisi oleh sebuah status yang cukup nyeleneh. Saya tidak tahu siapa penulisnya tetapi yang bisa saya tangkap dia adalah suami dari seorang guru. Sebuah puisi yang panjang dengan judul “Nasib Duwe Bojo Guru”. Isinya didominasi keluh kesah sibuknya istri sang penulis karena tuntutan seorang guru. Tulisan yang menggelitik dan diamini oleh banyak rekan-rekan guru. Ini bisa dibuktikan dari diskusi yang muncul di grup WA atau Facebook dengan komentator yang cukup banyak. Nasib Duwe Bojo Guru adalah keluh kesah antara harapan dengan kenyataan berbeda jauh. Guru masih dipandang sebuah profesi yang sangat enak dengan tuntutan sedikit gaji selangit.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan profesi sebagai bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (seperti ketrampilan, kejuruan dan sebagainya) tertentu. Sementara Good’s Dictionary of Education mendefinisikan profesi sebagai suatu pekerjaan yang meminta persiapan spesialisasi yang relatif lama di Perguruan Tinggi dan dikuasai oleh suatu kode etik yang khusus. Pertanyaannya apakah guru itu sebuah profesi?

Mari kita lihat kriteria profesi yang saya kutip dari Muchtar Luthfi dan Ahmad Tafsir. Tulisan Muchtar Luthfi yang disempurnakan oleh Ahmad Tafsir menyebut 10 kriteria seseorang disebut profesi bila ia memenuhi yaitu (1) profesi harus memiliki keahlian khusus, (2) dipilih karena panggilan hidup dan dijalani sepenuh waktu, (3) memiliki teori-teori yang baku secara universal. Artinya, profesi ini dijalani menurut aturan yang jelas, dikenal umum, teorinya terbuka. Secara universal pegangannya diakui, (4) untuk masyarakat, bukan untuk dirinya sendiri., (5) harus dilengkapi kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif.

Selanjutnya (6) Pemegang profesi memiliki otonomi dalam menjalankan tugas profesinya, (7) mempunyai kode etik, ini disebut kode etik profesi. Gunanya ialah untuk dijadikan sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas profesi, (8) mempunyai klien yang jelas yaitu orang yang dilayani, (9) memerlukan organisasi untuk keperluan meningkatkan kualitas profesi itu, dan (10) mengenali hubungan profesinya dengan bidang-bidang lain. Sebenarnya tidak ada aspek kehidupan yang hanya ditangani oleh satu profesi. Hal ini mendorong seseorang memiliki spesialisasi.

Diskusi yang berkembang di grup Facebook atau WA guru lebih banyak muncul keluhan daripada kebanggaan sebagai seorang guru. Masih banyak guru yang menganggap bahwa pekerjaan yang digeluti bukanlah sebuah profesi. Mengacu poin 4 dari kriteria profesi jelas disebutkan bahwa guru untuk masyarakat, bukan untuk dirinya sendiri.

Penyusunan administrasi pembelajaran, peningkatan kompetensi, pengolahan nilai secara autentik, dan tupoksi lain masih dianggap sebagai beban bagi dirinya, bukan sebuah upaya untuk memberikan layanan maksimal kepada masyarakat.

Saya jadi teringat dengan kalimat Marva Collins seperti ini : “Jangan mencoba untuk memperbaiki murid atau siswa kita, perbaiki diri kita sendiri terlebih dahulu. Guru yang baik membuat murid yang jahat menjadi baik dan menjadikan murid yang baik menjadi unggul. Ketika murid-murid kita gagal, berarti kita juga telah gagal menjadi seorang guru”.

Ketika kita naik pesawat terbang, tanpa diminta pramugari menjelaskan prosedur keselamatan dalam penerbangan. Hal yang sama saya yakin pasti bisa dilakukan oleh guru. Guru mata pelajaran bisa secara rutin berkomunikasi dengan orang tua untuk mendiskusikan perkembangan pendidikan muridnya. Tidak perlu bertemu terlalu sering, tetapi bisa melakukan komunikasi lewat grup Whatsapp orang tua. Jika masalah yang muncul bersifat pribadi bisa digunakan jalur pribadi lewat WA juga.

Menutup tulisan ini, banggalah dengan profesi kita. Saya sepakat dengan Henry Adam, guru menggandeng tangan, membuka pikiran, menyentuh hati, membentuk masa depan. Seorang Guru berpengaruh selamanya, Dia tidak pernah tahu kapan pengaruhnya berakhir.

Marilah kita bikin mengajar adalah kegemaran. Aku telah mencapai sebuah kesimpulan yang menakutkan bahwa aku adalah unsur penentu di dalam kelas. Pendekatan pribadikulah yang menciptakan iklimnya, suasana hatikulah yang membuat cuacanya. Sebagai seorang Guru, aku memiliki kekuatan yang sangat besar untuk membuat hidup seseorang menderita atau gembira. Aku bisa menjadi alat penyiksa atau pemberi ilham, bisa bercanda atau mempermalukan, melukai atau menyembuhkan. Dalam semua situasi, reaksikulah yang menentukan apakah sebuah krisis akan memuncak atau mereda dan apakah seseorang akan diperlakukan sebagai manusia atau direndahkan. Ya aku adalah unsur penentu di dalam kelas kata Haim Ginott.

Penulis : Ardan Sirodjuddin, Kepala SMKN 1 Tuntang dan Plt Kepala SMKN H Moenadi Ungaran.