Disiplin Positif vs Hukuman

Pada Selasa, 14 Maret 2023, saya mendapatkan undangan dari Dinas Perempuan dan Anak Provinsi Jawa Tengah untuk menghadiri kegiatan rapat koordinasi Pencegahan Kekerasan terhadap anak di sekolah. Saya berfikir mengapa ranahnya sekolah bukan undangan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, namun justru dari Dinas Perempuan dan Anak. Setelah mengikuti sambutan dari Kepala Dinas Perempuan dan Anak Provinsi Jawa Tengah, saya memahami ternyata dinas tersebut menyelenggarakan kegiatan ini karena kerjasama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Ada perasaan salut dan bangga bahwa dua Dinas bisa saling kolaborasi untuk membahas permasalahan urgent tentang pencegahan kekerasan terhadap anak di sekolah. Lagi-lagi pemikiran saya berkecamuk, mengapa harus ada embel-embel di sekolah, mengapa tidak dibahas tentang kekerasan anak di keluarga.  Kekerasan paling banyak terjadi pada anak-anak justru berada di lingkungan sekolah, diawali dengan permasalahan-permasalahan yang sering mencuat justru di dunia persekolahan.

Mengikuti kegiatan rapat koordinasi dan saya sangat antusias dengan pemaparan yang disampaikan oleh Pak Subagyo. Ada satu hal yang menarik ketika saya mengikuti pemaparan Pak Subayo yaitu tentang perkalian. 5×1 = 5, 7 x 3 = 21, 6 x5 = 30, 8 x 4 = 42, 4 x 9 = 36, 5 x 10 = 50. Apa yang dapat dilihat dan dicermati dari perkalian tersebut? Ada yang menjawab itu pasti. Namun sebagian besar peserta berpendapat bahwa ada hasil perkalian yang salah. Pak Subagyo menyampaikan mengapa yang selalu diamati adalah kesalahannya. Mengapa dari 6 perkalian tersebut tidak mencermati ada 5 perkalian yang hasilnya benar? Di dunia persekolahan, sering kali melihat kesalahan anak disoroti. Ketika dari 1200 siswa yang masuk di sebuah SMK, selanjutnya ada 20 siswa yang terlambat, maka kita sering kali fokus pada 20 siswa yang terlambat tersebut dan menjadi sesuatu yang luar biasa untuk ditangani. Lalu sebanyak 1180 siswa yang datang tepat waktu justru tidak mendapatkan apresiasi. Sehingga siswa yang masuk tepat waktu justru menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Bagus jika penanganannya sudah solutif, tetapi apabila penanganan justru menimbulkan masalah baru sehingga merambah pada tindakan kekerasan terhadap anak, maka yang rugi bukan hanya siswa itu sendiri, namun acap kali muncul permasalahan kasus kekerasan dari guru yang sampai ke ranah hukum.  Acap kali siswa yang terlambat masuk sekolah, justru penanganannya tidak sesuai dengan permasalahan yang terjadi. Tindakan hukuman sering kali dilakukan untuk efek jera, namun apakah hukuman tersebut efektif dalam penanganan permasalahan siswa tersebut? Ketika siswa terlambat masuk sekolah, dan siswa tersebut mendapat hukuman berdiri menghormat bendera berjam-jam. Apa korelasinya antara terlambat masuk sekolah dengan berdiri hormat bendera? Terlambat masuk sekolah itu masalah, dan sering kali kita sebagai guru justru terjebak pada masalah itu dalam penanganannya, tidak mencari akar permasalahannya.

Sebagai analogi, seorang yang pusing dan pergi ke dokter. Hasil diagnosa dokter, banyak sekali akar masalah yang menyebabkan pusing, seperti flu, mungkin juga karena sakit gigi, mungkin juga karena sakit maag, atau juga karena belum sarapan. Ketika akar permasalahannya diketahui, maka penanganannya yang tepat akan menjadi solusi menghilangkan pusing tersebut. Di sekolah, seringkali kita melupakan untuk mengetahui akar permasalahan. Dibutuhkan kemampuan untuk menangani permasalahan secara solutif, salah satunya adalah disiplin positif. Disiplin positif merupakan pendekatan pedagogik yang didasarkan pada kekuatan tindakan positif, rasa tanggungjawab (konsekuensi), pemahaman  (logis ), dialog, penghargaan terhadap hak dan kebutuhan perkembangan peserta didik.

Sering ditanyakan kepada siswa yang terlambat masuk sekolah, “Mengapa kamu terlambat?” Kalimat tanya ini sering kali tidak disadari oleh para guru bahwa dapat menimbulkan masalah baru, yaitu siswa cenderung tidak jujur dan berbohong, dan mereka akan mencari alasan untuk membentengi dirinya dengan harapan akan terkurangi hukumannya. Lalu apa yang seharusnya ditanyakan oleh guru? Guru harus memiliki kemampuan power question. Akan berbeda ketika siswa ditanya dengan kalimat, “Apa yang membuat kamu terlambat?” Tentu pertanyaan ini tidak menjustifikasi, dengan wajah  yang tidak menyeramkan, lebih bersahabat, maka hasilnya akan diperoleh cerita anak yang memberikan penjelasan tentang kronologi siswa yang membuat dirinya terlambat. Setelah siswa menceritakan, perlu kita harus memberikan dua hal yaitu kepercayaan dan kepedulian. Kalimat berikutnya, “Apa perasaanmu ketika terlambat?” dan dilanjut pula dengan pertanyaan pemantik selanjutnya agar siswa melakukan perencanaan lebih lanjut. “Apa yang bisa kalian lakukan, agar ke depannya tidak terlambat?”  Itulah beberapa pertanyaan, bukan nasehat maupun bukan larangan yang justru membawa dampak pada proses kesadaran diri. Inilah yang disebut dengan proses disiplin positif.  Melalui disiplin positif tidak akan akan mengandung kekerasan baik fisik maupun verbal, anak akan berperilaku positif karena dia  sadar bahwa perilaku negatif memberikan dampak yang buruk  bagi dirinya dan orang lain, anak termotivasi datang ke sekolah, memanfaatkan kesalahan sebagai peluang untuk pembelajaran (belajar dari kesalahan),  mendekatkan guru dan peserta didik, efeknya bersifat jangka panjang. Melalui disiplin positif guru akan menghargai potensi anak, membangun logika dan bimbingan yang membangun.

 

Penulis: Diyarko, M.Pd., Guru SMKN 11 Semarang

Editor  : Nurul Rahmawati, M.Pd., Guru SMKN 1 Tuntang