Olah Rasa tentang Matinya Kepedulian

 

Cirebon, 27 Februari 2023. “Assalamualaikum” ucapku kala membuka pintu ruang BK di sebuah sekolah lanjutan atas tempat anakku sekolah. Walau belum mendapat balasan pesan, sengaja kuluangkan waktu pertemuan dengan guru BK di sekolah tempat putraku menuntut ilmu. Bapak Guru BK tersebut merupakan teman lama masa prajabatan yang sudah saya kenal. Mendengar salam dari saya, beliau langsung melongokkan wajahnya di antara kerumunan anak-anak berseragam putih abu yang mengepungnya. Beliau langsubv memberi kode dongakkan dagunya saat kulambai tangan. “Oh ya, sebentar ya Bu”. Sapanya bersahabat. Di dalam ruangan konsul BK terdiri dari 3 kelas tersebut tampak penuh. Dari obrolannya sekilas saya tangkap para siswa tersebut sedang antre untuk pelayanan konsul dan arahan ke Perguruan Tinggi. Karena diminta menunggu, saya pun ikhlas berdiri sambil berharap ada anak-anak SMA yang sedang duduk asyik (sekitar 6 siswi) mempersilakan tempat duduknya untuk berbagi dengan saya. Saya membayangkan situasi di KRL Jakarta Bogor, kalau anak-anak yang lebih muda merelakan kursinya untuk diberikan kepada penumpang lain yang kategori lebih membutuhkan, selain kursi untuk para disabilitas dan ibu hamil. Namun sampai menit kesekian, para siswi tersebut sempat tak acuh terhadap tamu lain dan tetap asyik ngobrol tanpa sedikitpun menawarkan berbagi kursi-kursi yang diduduki. Bentuk kursi sofa masih memungkinkan untuk saling berbagi tempat duduk. Mendapati saya  yang tetap berdiri, teman guru BK berucap “Silakan duduk saja dulu, Bu”. “Tempat duduk penuh Pak, lantang suara ku sengaja, untuk melihat respon balik. “Neng, geser beri ibu tempat duduk” perintah temanku tersebut, sambil terus melayani para siswa. Barulah anak-anak tersebut bergerak memberi duduk dengan tanpa sepatah kata turut mempersilakan.

Cerita tersebut saya peroleh dari group GSM sebuah kisah nyata yang mencabik-cabik perasaan saya. Akhirnya cerita tersebut saya kirim ke Whatsapp group kelas X dan group organisasi di sekolah, sembari saya tambahkan tulisan pemantik.  “Cermati cerita kisah nyata dari seorang ibu, yang putranya sekolah di salah satu SMA di Cirebon. Silakan memberi tanggapan, jika kalian menjadi siswa di SMA tersebut, apa yang kalian rasakan, pikirkan dan apa yang akan kalian lakukan?”. Beberapa menit kemudian sudah banyak yang memberikan respon dari pantikan olah rasa tersebut.

Iqbal Ramadhan yang pertama kali memberikan respon.  “Setelah membaca teks tersebut saya merasa malu dikarenakan sikap pemuda sekarang.  Pe,uda sekarang itu gengsinya tinggi, jadi mereka menjadi tidak pedulian dengan situasi sekitar. Hal pertama yang saya lakukan adalah menginstropeksi diri saya terlebih dahulu”, ungkap Iqbal. Disusul tulisan dari Moreno Rizky Herlambang, “Saya merasa bahwa hal itu tidak baik, karena seharusnya jika ada tamu dari luar sebaiknya kita menanyakan apa keperluannya, bukan cuek terhadap tamu tersebut. Saya pikir kalau sebaiknya kita harus saling mengedukasi terhadap sesama agar semua orang bisa belajar bersama untuk memperlakukan orang lain di tempat umum. Yang akan saya lakukan adalah saya akan berusaha untuk terus belajar dan memperhatikan sekitar dan berlatih untuk peka terhadap lingkungan, mengingat kalau saya sangat kirang dalam hal-hal tersebut”. Kanza memberikan respon sebagai berikut.  “Saya terkadang juga merasa iba, kenapa anak anak sekarang tidak memberikan kursi kepada yang lebih tua atau malah yang membutuhkan. Di benak saya  biasakan berfikir bahwa “orang tua pasti lebih lelah karena pasti lebih banyak bekerja keras”. Namun anak seperti itu masih banyak, ada yang diam sengaja tidak peduli, ada yang mendengarkan musik sembari menunduk dan lain lainnya. Saya hanya berharap makin banyak anak-anak yang sadar akan hal dasar seperti itu”. Benedictus Evan King juga ikut memberikan komentar. “Menurut saya seharusnya para siswi itu memberikan kursi mereka dan mempersilahkan para tamu itu duduk bukannya malah bersikap tidak peduli. Saya juga masih belajar untuk menghargai orang orang disamping saya karena, percuma pintar tetapi tidak memiliki sopan santun”. Menurut Fellisya Putri Hidayat, “Saya merasa bahwa perilaku tersebut sangat tidak patut, manusia diciptakan untuk saling membantu,peduli terhadap sesama,dan juga harus memiliki empati kepada orang lain. pernah saya dengar seorang guru yang berkata bahwa adab itu adalah nomor 1 dan kepandaian seseorang adalah nomor 2, maka dari sini kita tahu bahwa seseorang harusnya memiliki rasa kepekaan dan empati terhadap sesamanya”. Neysha Ayu menyatakan bahwa, “Seharusnya kita harus lebih peka terhadap lingkungan sekitar. memberikan kursi atau mempersilahkan duduk kepada orang yang lebih tua dari kita itu juga termasuk dalam sikap rela berkorban dan terpuji. maka dari itu kita harus lebih peka terhadap lingkungan sekitar dan belajar sopan santun”. Dewi Rochmawati menyatakan bahwa dari cerita tersebut perilaku untuk peduli terhadap orang lain mulai menghilang yang membuat mereka merasa tidak peduli dan acuh, padahal yang sedang berdiri juga membutuhkan tempat untuk duduk apalagi yang acuh adalah anak muda yang masih sehat/tidak merasa lelah, prilaku tersebut juga mencerminkan perilaku sopan santun kita terhadap orang yg lebih tua atau yang lebih membutuhkan. Khoirun Nisa menyatakan bahwa, “Saya merasa bahwa hal tersebut tidak patut untuk ditiru, mungkin pikiran anak jaman sekarang lebih mementingkan kenyamanan. akan tetapi didalam pikiran saya kita harus menghormati orang tua apa pun dan dimanapun itu kita berada. kita harus mulai dari hal kecil seperti memberi kursi kepada orang yang lebih tua didalam bis. jika kita selalu menghormati orang tua kita akan terbiasa dengan hal itu”. “Perbuatan itu sangatlah tidak sopan karena cuek terhadap orang tua itu sudah terlalu berlebihan cueknya, apa susahnya memberikan tempat duduk untuk orang tua atau sesama kita dan kalau kita berbagi tempat duduk juga kita tidak akan rugi, Dan kemungkinan akan menjadi dekat atau menjadi teman dengan orang lain itu. Kita tak akan pernah merasa hidup menjadi manusia jika tak pernah merasakan berbagi”. Callista menyampaikan bahwa, “Setelah membaca pesan yang pak Di kirim, saya merasa miris melihat berkurangnya rasa peduli, etika dan sopan santun ank remaja jaman sekarang. Dan sangat disayangkannya kejadian kejadian yang mirip dengan cerita di atas tidak jarang terjadi saat ini, terutama di transportasi umum”.

Saya jadi teringat beberapa kejadian yang menunjukkan turunnya kesadaran diri di lingkungan saya, hal ini tentunya tidak boleh menjadi kebiasaan maka dari itu perubahan harus di ciptakan mulai dari diri saya sendiri”, ungkap Giwang. “Saya sendiri jika menjadi siswa SMA tersebut sudah pastinya akan merasa malu, saya merasa bahwa ternyata saya masih kurang dalam bersikap peduli, masih kurang dalam kepekaannya untuk memberikan tempat duduk bagi orang tua tersebut. Yang akan saya lakukan ketika menghadapi kejadian tersebut adalah mengalah, tidak hanya kepada orang tua saja namun untuk semua orang sebagai unjuk rasa kepedulian saya terhadap orang lain”, ungkap Lia, salah satu anggota organisasi OSIS di sekolah.

Olahrasa merupakan bagian penting untuk membuat kesadaran diri peserta didik. Matinya rasa peduli pada peserta didik yang dicontohkan pada kisah tersebut karena tidak dibiasakan olah rasa, komunikasi, sambung rasa. Olah rasa merupakan salah satu cara membangun social emotional dan itu bisa dilakukan dengan komunikasi, sambung rasa atau dialog baik secara lisan maupun tertulis. Yuk, jangan sampai berhenti untuk mengasah kepekaan anak didik kita, sebelum mereka semakin bebal dan semakin tumpul rasanya.

Penulis: Diyarko, M.Pd., Guru SMK N 11 Semarang.

Editor: Annisa Erwindani, S.Pd., Guru SMA Islam Hidayatullah.