Autonomous Learning sebagai Perwujudan Kurikulum Merdeka

Autonomous learning atau telah menjadi salah satu isu penting sebagai syarat pembelajaran bahasa yang efektif dalam tiga dekade terakhir (misalnya, Brookes & Grundy, 1988; Tsai, 2019). Autonomous Learning berarti siswa mengambil kendali lebih besar dalam proses belajarnya sebagai pengambil keputusan yang membangun kapasitas diri mereka untuk membuat keputusan dari sumber daya dan alat yang tersedia untuk memenuhi dan mencapai tujuan pembelajaran (Holec, 1985; Little, 1991).

Banyak penelitian telah dilakukan dan menunjukkan bahwa autonomous learning adalah kondisi belajar yang penting. Dengan bimbingan yang tepat dan kegiatan yang tepat, otonomi siswa dapat membantu meningkatkan kecakapan bahasa Inggris. Dafei (2007) dalam penelitiannya, menunjukkan bahwa kemampuan bahasa Inggris siswa secara signifikan dan positif berhubungan dengan otonomi belajar mereka.

Selain itu, Harmer (2007) menyebutkan bahwa untuk meningkatkan peluang keberhasilan pembelajaran dan pengembangan bahasa, siswa perlu dimotivasi untuk mengembangkan strategi belajar mereka sehingga mereka menjadi pembelajar yang mandiri. Untuk mendukung kemampuan komunikasi siswa, mereka perlu mengatur secara mandiri dan mengarahkan pembelajaran mereka di dalam dan di luar sekolah.

Konsep belajar mandiri ini selaras sebagai manifestasi dari Kurikulum Merdeka. Saat ini pendidikan di Indonesia berada pada era Pendidikan Abad 21 yang ditandai dengan era revolusi industri 4.0 menuntut peserta didik untuk memiliki keterampilan belajar berpikir kritis dan memecahkan masalah, komunikasi, kreativitas dan inovasi, serta kolaborasi. Teknologi dan informasi yang terus berkembang pesat sebagai bagian dari tantangan para guru merupakan alat yang penting dalam pelaksanaan proses pembelajaran sebagaimana Shi et al. (2016) menunjukkan bahwa sumber belajar digital dapat meningkatkan efektivitas efektivitas pembelajaran.

Prinsip-prinsip dalam Kurikulum Merdeka meliputi pembelajaran kontekstual, pembelajaran berpusat pada siswa, pembelajaran berorientasi masa depan, dan pembelajaran berdasarkan kemampuan dan kebutuhan siswa dalam Profil Siswa Pancasila. Prinsip-prinsip ini menuntut siswa untuk mengambil lebih banyak kendali dan tanggung jawab untuk proses belajar mereka.

Sejalan dengan perkembangan kurikulum, peran guru dalam mendorong kemandirian siswa sangat penting. Camilleri (1997) menunjukkan bahwa guru harus menyadari pengaruhnya pada proses pembelajaran dan diharapkan dapat meningkatkan kesadarannya akan pengalaman belajar mereka guru dan tingkat otonominya sebagai pembelajar. Juga, mereka mengetahui karakteristik afektif dan kognitif siswa mereka dan sikap dan keterampilan mereka yang terkait dengan otonomi.

Guru harus terus meningkatkan kompetensinya agar dapat memberikan pembelajaran yang relevan dengan karakteristik dan kebutuhan siswa untuk dapat mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Guru harus mampu mengelola kelas dimana siswa secara aktif berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan dalam penggunaan strategi dan materi yang menguntungkan mereka. Dari proses pembelajaran yang optimal, peserta didik dibentuk untuk menjadi pelopor dalam mewujudkan cita-cita bangsa dalam membangun Indonesia sesuai dengan konteks kebutuhan zaman yang begitu dinamis.

Sayangnya, penelitian tentang pembelajaran mandiri di sektor persekolahan Indonesia masih jarang dibahas (Lengkanawati, 2017). Penulis berpendapat bahwa perlu adanya kajian yang lebih mendalam yang disesuaikan dengan keadaan sehingga akan ada pemahaman yang lebih baik tentang pembelajaran mandiri, terutama kaitannya dengan strategi dan metode pembelajaran yang sesuai dalam kurikulum saat ini. Hal ini akan menimbulkan pertimbangan guru yang memadai dalam mempersiapkan dan membimbing siswa sebagai ujung tombak dari pendidikan.

“SMK Negeri 10 Semarang, dari Semarang untuk Indonesia”

Penulis: Irda Afdila S.Pd., Guru PPL PPG Unnes Mapel Bahasa Inggris

Editor: Tim Humas