Guru Transformatif Dalam Pusaran Budaya Permisive

Tahun ini kita memperingati hari guru ke-78 yang berarti setiap tahunnya beiringan pula dengan peringatan kemerdekaan negara Indonesia. Artinya, penetapan hari guru di tahun yang sama dengan kemerdekaan Indonesia menunjukkan kesadaran akan peran guru sudah dimulai semenjak negara kita ini, serta dan pemerintah telah memposisikan guru sebagai elemen penting bagi perkembangan dan keberlangsungan bangsa. Tema besar yang diusung dalam peringatan hari guru tahun ini adalah transformasi guru untuk Indonesia maju. Sebuah tema yang patut menjadi bahan atau setidaknya pengantar refleksi bagi semua anak bangsa akan berat dan kompleksnya tantangan kita di masa mendatang, sekaligus memantapkan tugas panggilan guru menjelang peringatan seabad bangsa kita mendidik dan mempersiapkan anak-anak muda, generasi emas yang diharapkan mampu membawa kemajuan bangsa dalam kancah global. Namun di tengah kesadaran itu justru muncul fenomena berbagai kasus kekerasan terhadap guru yang dilakukan oleh sebagian peserta didik dan beberapa orang tua. Lalu di tengah perkembangan zaman saat ini, bagaimana guru harus harus mentransformasi diri dan haruskah menjadi sosok yang permisivime?

Di masa lampau, guru yang hebat merupakan sosok ‘wong pinter’ dengan ilmu yang dimilikinya dan kemampuan menerapkan ilmu tersebut dalam menyelesaikan masalah yang muncul di tengah masyarakat. Guru menjadi satu-satunya sumber ilmu, sosok teladan yang tiada duanya patut digugu dan ditiru. Di era disrupsi teknologi khususnya kemajuan teknologi informasi dan media sosial yang demikian cepat dan masif di ruang maya, memposisikan guru bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Setiap orang begitu mudah mengakses berbagai informasi yang dibutuhkannya, termasuk setiap peserta didik dengan mudah memperoleh bahan apa yang akan dipelajarinya. Bahkan dengan formula dan teknik animasi yang berkembang, menjadikan konten-konten pembelajaran di ruang maya tersebut terasa menjadi lebih menarik dibanding materi pelajaran dari guru yang masih di ruang nyata sekalipun. Demikian pula, konten-konten tersebut juga banyak menawarkan berbagai materi pembelajaran, cara dan trik untuk mempelajari materi kini bermetamorfosis menjadi media pembelajaran. Bukan tidak mungkin konten dan media pembelajaran online di ruang maya tersebut seakan mengurangi perhatian dan ketergantungan siswa pada guru, mendegradasi keberadaan guru di kelas atau sekolah. Akibatnya eksistensi dan peran guru dirasa berkurang di benak peserta didik, bahkan ada semacam pandangan, dapat belajar mandiri secara online melalui internet di mana saja, tidak harus bersekolah dengan guru di kelas. Dengan demikain, profil guru masa kini haruslah berbeda (jauh)  dengan sosok guru masa lampau dan pastinya guru harus mentransformasi dirinya.

Menurut beberapa pandangan dari berbagai sumber, guru transformatif adalah guru yang membawa perubahan dalam pola pembelajaran, metode dan hasil karya, dengan cara-cara yang inovatif untuk melakukan terobosan. Transformasi ini diperlukan agar guru dapat menghadirkan proses pembelajaran yang bermakna untuk peserta didik, relevan dengan realitas kehidupan saat ini maupun selanjutnya dan menjadi guru kekinian. Guru yang kekinian, tidak hanya berhenti  mengandalkan kemampuan yang telah dimiliki saat ini, tetapi harus dinamis, mampu seiring dengan perkembangan zaman, teknologi dan visi pemanfaatannya yang mau tidak mau harus secara konsisten dan kontinyu mau melakukan pengembangan diri untuk memperoleh berbagai kompetensi dan informasi baru yang dapat menunjang terlaksananya pembelajaran yang kekinian di kelas. Dengan kata lain, guru haruslah menjadi sosok profesional yang tetap dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik (UU No 14 tahun 2005). Namun lesatan perkembangan masa kini mengharuskan kemauan dan kemampuan guru membawa perubahan-perubahan pola pembelajaran seperti metode atau strategi pembelajaran, dan berkarya dalam mengembangan materi pembelajaran atau konten. Serta merancang media hasil karya inovatif untuk menciptakan proses pembelajaran yang kekinian, menarik sekaligus memberikan ruang kebebasan peserta didik untuk mengembangkan potensinya dan trampil serta adaptif di masa mendatang, dengan memanfaatkan dan menghadirkan piranti produk lesatan teknologi di hadapan peserta didik dalam pembelajaran di kelas.

Spirit pendidikan yang pada hakekatnya bertujuan untuk mengantarkan setiap orang pada kemerdekaan dan kebahagian sejati (keberhasilan) diupayakan dengan menumbuhkan kebiasaan diri seperti disiplin, tertib, kerja keras, jujur, dengan pengembangan nilai-nilai keutamaan hidup bersama seperti saling menghormati, kerja sama, gotong royong, saling membantu, kerelaan dan kepuasan dalam berbagi, dan penghargaan akan eksistensi-kehadiran orang lain bagi dirinya kiranya menjadi roh pendidikan yang tidak pernah lekang oleh waktu. Namun, kehadiran berbagai konten dan media pembelajaran online yang mendegradasi keberadaan guru turut mengeliminir atau setidaknya mengurangi kegiatan pembelajaran di sekolah sebagai proses sosial. Akibatnya akan muncul kalangan dengan sikap-sikap individual, apatis dengan lingkungan sekitar, tidak peduli, dan mengalami kegagapan sosial yang pada saat harus bernteraksi sosial nyata, menjadi sangat sensitive pada saat menghadapi berbagai ketimpangan pada dirinya dengan orang lain sehingga cenderung reaktif, emosional dan akhirnya kurang mampu mengendalikan diri di ruang sosial yang heterogen. Reaktif dan emosional dan kurangnya kemampuan mengendalikan diri inilah yang memunculkan tindak kekerasan terhadap guru sekalipun. Berbagai pemicu tindakan tersebut mulai dari teguran memasukan baju seragam, kegiatan mengerjakan soal di muka kelas untuk siswa yang belum mengerjakan PR yang akan menjadi aktivitas pembimbingan justru dianggap sebagai perundungan atau bullying, termasuk sanksi lain yang di masa lampau menghasilkan efek jera bahkan kekuatan psikologis pun disikapi secara reaktif-emosional yang berujung pada tindak kekerasan terhadap guru. Sangat berbahaya apabila masyarakat memandang tindakan kekerasan tersebut sebagai hal biasa, indikasinya tindakan tersebut diamini sebagian orang tua dari kaca mata berbeda yang berujung pada ancaman sanksi hukum, seakan menempatkan guru pada sudut sempit ruangan kelas yang gelap pada titik tertentu. Mungkin akan mengendorkan semangat guru dalam mentransformasi diri, termasuk penafsiran sempit spirit merdeka belajar yang terkadang dipeyoratifkan guru harus melayani, menghamba kepada siswa yang pada gilirannya menjadikan kegamangan guru dalam menegakkan kedisiplinan, ketertiban siswa dan prinsip-prinsip pendidikan lainnya di tengah sikap permisive sebagian masyarakat dan guru yang sangat merugikan moralitas bangsa di kemudian hari. Semoga dengan kesadaran dan dukungan berbagai pihak, guru-guru hebat dapat mentransformasi diri, tetap semangat menjunjung tinggi moralitas serta prinsip pedagogik yang menjadi jiwanya selama ini dan di masa mendatang. Selamat hari guru.

 

Penulis : Y. Bangun Widadi, M.Pd.

Editor : Nurul Rahmawati, M.Pd., Guru SMKN 1 Tuntang