Pelajaran sejarah di sekolah telah lama dikaitkan dengan content sejarah yang notabene sarat dengan angka tahun dan hafalan yang membosankan. Persepsi yang demikian tidak akan memberikan ruang dan tantangan siswa untuk berpikir dan bernalar secara kritis. Semakin lebih menyedihkan, tatkala siswa dijejali dengan soal-soal yang jauh dari HOTS dan mengesampingkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Tidak heran akhirnya siswa dimanjakan dengan “ingatan” tentang konsep, fakta dan prosedur.
Konsep, fakta dan prosedur seharusnya tidak “cukup” diingat, tetapi dikembangkan dengan historical reasoning, yakni penalaran sejarah. Siswa diharapkan mampu menganalisis, mengevaluasi, dan menggunakan informasi tentang masa lalu untuk menggambarkan, menjelaskan, membandingkan, atau membangun argumen tentang peristiwa sejarah dan fenomena-fenomena yang terjadi.
Van Drie dan van Boxtel (2008) telah mengusulkan kerangka kerja penalaran sejarah menjadi enam bagian, yaitu: (1) mengidentifikasi pertanyaan sejarah; (2) menggunakan berbagai sumber informasi, verbal dan visual; (3) menciptakan konteks yang sesuai untuk fenomena sejarah; (4) mengembangkan penjelasan dan argumen historis yang rasional dan berbasis bukti; (5) memahami dan menggunakan konsep-konsep sejarah yang substantif untuk menyebutkan fenomena, orang, dan periode sejarah; dan (6) menggunakan meta-konsep historis seperti signifikansi, sebab-akibat, dan empati historis untuk memahami bukti dan mengembangkan penjelasan dan argumen.
Kerangka kerja tersebut, menjadi tugas dan tanggung jawab guru di depan kelas. Untuk mencapai tingkatan yang demikian, guru dapat memilih model pembelajaran yang tepat. Salah satunya adalah dengan menerapkan model pembelajaran Cooperative Learning (CL). CL adalah model pembelajaran yang melibatkan kelompok-kelompok kecil, membantu satu sama lain dalam mencapai tujuan akademik (Robert E Slavin, 2015). Peserta didik dilibatkan dalam pelajaran presentasi dan interaksi sebagai tantangan mereka. CL merupakan praktek pedagogis yang memiliki keunggulan mengungkapkan pentingnya struktur, tugas, dan komposisi kelompok yang tepat, yang pada akhirnya mendorong peserta didik untuk berpikir kritis, logis dan reflektif. Beberapa keunggulannya antara lain; memotivasi peserta didik terhadap proses kognitif dan sosial untuk peningkatan prestasi akademik, berpikir kritis antar peserta didik, sikap dan persepsi, mengutamakan kerja tim dan membangun pengetahuan pada saat diskusi, memungkinkan peserta didik untuk menilai kontribusi peserta didik yang lain dalam kelompok, elaborasi kognitif, dan bertanggung jawab melalui interaksi interpersonal, hubungan ras dan harga diri peserta didik yang lebih positif, menyenangkan dan memberikan tingkat kepuasan.
David Johnson (dalam Saekhow, 2015:1742), menjelaskan ada 5 (lima) komponen penting dalam CL, meliputi: (1) prinsip ketergantungan positif (positive interdependence); (2) interaksi tatap muka (face to face promotive interaction); (3) tanggung jawab perseorangan (individual accountability); (4) ketergantungan dan keterampilan kelompok kecil (interdependence and small group skill); (5) kerja kelompok (group processing). Secara normatif, komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagian ahli berpendapat apabila ada satu komponen yang tidak ada, maka bukan pembelajaran CL.
Dengan CL, penalaran sejarah dapat terbentuk melalui berbagai kritisisme sumber sejarah, baik primer maupun sekunder. Siswa dituntut banyak literasi dengan studi dokumen, sumber informasi, menggunakan berbagai entitas verbal dan visual yang berbentuk sosial dan budaya untuk mengkomunikasikan makna dan fenomena sejarah. Tujuan akhir siswa dapat menganalisis dan mengevaluasi dari tesis, antitesis dan sintesis dalam setiap jejak dan peristiwa sejarah.
SMK Negeri 10 Semarang, dari Semarang untuk Indonesia
Penulis: Janto, S.Pd., Waka. Bidang Kurikulum dan Guru Mapel Sejarah
1 komentar
Yanto, Tuesday, 25 Jan 2022
Alhamdulillah, kalau kita masih ingat sejarah berarti kita juga tak lupa sanad keilmuan. Trimakasih Pak Janto.. semangaaat yaa.