Ada perasaan mengganjal, ketika Penulis berangkat dan pulang kerja melihat banyaknya anak-anak di persimpangan lampu merah kota Semarang dan kota-kota besar di Indonesia meminta sumbangan, berjualan koran dan tisu, menjadi pengamen, badut, bahkan mengecat tubuhnya yang kerap disapa “manusia silver.” Selain mengkhawatirkan keselamatan anak-anak tersebut karena kondisi keramaian jalan, terpenting bagi Penulis adalah khawatir bagaimana nasib pendidikan mereka. Kalaupun kondisi perekonomian keluarganya tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya, bukan berarti menjadi alasan yang mendasari anak-anak turut membantu keluarganya dalam mencari nafkah. Tidak dibenarkan bila kondisi tersebut mengharuskan anak-anak mengorbankan dirinya untuk tidak memperoleh dan mengenyam pendidikan.
Masih banyaknya jumlah anak putus sekolah, menjadi permasalahan di negara ini yang tentu menghambat kemajuan dan daya saing bangsa. Mengutip data jumlah siswa putus sekolah, pada laman website statistik.data.kemdikbud.go.id. Diketahui bahwa jumlah anak putus sekolah pada tahun pelajaran 2019/2020 sebanyak 26,864, sedangkan tahun pelajaran 2020/2021 sebanyak 13.879 anak. Khusus di Provinsi Jawa Tengah siswa yang putus sekolah di tahun pelajaran 2018/2019 sebanyak 2.408 anak, tahun pelajaran 2019/2020 sebanyak 1.501 siswa, sedangkan tahun pelajaran 2020/2021 sebanyak 172 anak. Berdasarkan data tersebut angka siswa yang putus sekolah dari tahun ke tahun mengalami penurunan yang signifikan. Dengan masih banyaknya angka anak putus sekolah, merupakan salah satu penyokong terbesar terhadap peningkatan angka kemiskinan yang bahkan dapat terwariskan secara turun-temurun, bila pendidikan dikesampingkan. Maka dari itu, masyarakat dan orang tua pun perlu dipahamkan untuk melindungi masa depan anak-anak dengan pentingnya pembekalan ilmu pendidikan.
Landasan hukum negara telah menjamin, bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapat pendidikan, dan diwajibkan oleh negara bagi setiap warga negara untuk mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah pun wajib membiayainya, sebagaimana inti dari Pasal 31 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, di mana hak dan kewajiban tersebut sejalan dengan langkah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, yang disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional sendiri, secara jelas telah mengatur hak dan kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat, dan pemerintah, sebagaimana diatur kolektif dalam Bab IV Undang-Undang tersebut. Sebelum melakukan perluasan program wajib belajar sebagaimana disebutkan, masih adanya jumlah anak putus sekolah di tingkat pendidikan menengah, adalah salah satu kendala utama untuk mendukung program tersebut, sehingga diperlukan langkah-langkah solutif dalam menekan angka anak putus sekolah.
Menyikapi fenomena tersebut, Direktorat SMA melakukan fasilitasi dan advokasi kepada sekolah dengan tema “Strategi Pencegahan Siswa Putus Sekolah Jenjang Pendidikan SMA.” Dasar pembuatan program tersebut adalah relevansi gerakan pencegahan siswa rentan agar tidak putus sekolah dengan kebijakan merdeka belajar, hasil assessemen nasional maupun internasional menunjukkan kita aktor pendidikan masih mempunyai perkerjaan rumah bersama dalam kualitas proses maupun kualitas hasil pendidikan, konsekuensi dari siswa putus sekolah antara lain: (a) susah cari kerja, (b) dapat menjadi pemicu permasalahan sosial misal pengangguran, anak dari siswa rentan yang sedikit banyak mencontoh orang tuanya, (c) memicu kriminalitas, (d) susah untuk memperbaiki ekonomi keluarga.
Menurut Direktorat SMA, strategi pencegahan siswa rentan putus sekolah berbasis pada konsep dan pola gerakan, dengan karakteristik sebagai berikut: a) Voluntary (sukarela) dari pada wajib (mandatory); b) Berbasis pada pemenuhan tanggung jawab moral insan pendidikan dari pada prestasi yang mengangkat kredibilitas sekolah; c) Berbasis pada inisiatif dan usaha bersama antara sekolah, pemerintah daerah, warga sekolah, dan Direktorat SMA; d) Sumber pendanaan dilakukan secara bersama (kolektif) tidak hanya bergantung pada BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan PIP (Program Indonesia Pintar) saja, walaupun BOS dan PIP tetap menjadi instrument pendanaan penting; e) Salah satu tujuan utama dari gerakan adalah keberlanjutan (awet) & terinternalisasi menjadi budaya sekolah, dari pada hanya berbasis pada project dengan tenggat waktu tertentu.
Adapun strategi utama yang lakukan SMA Negeri 16 Semarang untuk pencegahan siswa rentan agar tidak putus sekolah, yaitu: a) melakukan identifikasi dini siswa rentan putus sekolah, b) analisis penyebab siswa rentan putus sekolah secara intensif dan individual c) pembentukan satgas pencegahan SRPS. Berdasarkan identifikasi yang dilakukan oleh Tim Satgas sekolah, faktor penyebab SRPS adalah : 1) Motivasi belajar siswa yang rendah; 2) Pernikahan dini/hamil di luar nikah; 3) Siswa yatim piatu tinggal sendirian; 4) Orangtua bercerai/meninggal diasuh oleh kakek/nenek sehingga tidak ada pengontrolan atas perilaku siswa; 5) Faktor kenakalan siswa/tindak kejahatan; 6) Siswa tinggal sendiri sehingga jauh dari pantauan orangtua; 7) Lingkungan rumah kurang kondusif, 8) Faktor ekonomi rendah (siswa bekerja), ekonomi mapan (siswa merasa tidak perlu bersekolah).
Selama mendampingi SRPS kendala dan permasalahan yang dihadapi sekolah adalah 1) Komunikasi dengan orangtua untuk melakukan home visit sulit karena orang tua sibuk bekerja; 2) Lambatnya respon orang tua terhadap panggilan sekolah; 3) Orangtua kurang kooperatif dalam permasalahan anaknya; 4) Anggaran dana yang kurang mencukupi dalam mengakomodir gerakan pencegahan siswa rentan putus sekolah, dan 5) Sulit mendeteksi siswa RPS karena kurang pengawasan orang tua. Atas permasalahan dan kendala yang ditemukan oleh Tim Satgas SRPS di atas, SMA Negeri 16 Semarang mengambil Langkah-langkah pemecahan masalah sebagai berikut 1) Sosialisasi Gerakan SRPS seluruh warga sekolah termasuk komite; 2) Pendampingan dan pendekatan secara personal dengan orangtua dan siswa; 3) Memberikan poin reward untuk siswa berprestasi; 4) Membuat bank data siswa untuk memudahkan mengidentifikasi dan tindak lanjut dalam penanganan siswa; 5) Infaq dari Bapak/Ibu Guru/Karyawan dengan istilah Gasebu (Gerakan Sedekah Subuh) untuk membantu permasalahan ekonomi pada siswa rentan putus sekolah.
Penulis: Suyoto, S.Pd., M.Si., Guru SMAN 16 Semarang
Editor : Nurul Rahmawati, M.Pd., Guru SMKN 1 Tuntang
Komentar Pengunjung