Membangun SMKN 10 Semarang Dengan "Make Time"

Pada tahun 2006, Ford Motor Company berada di ambang kebangkrutan. Perusahaan otomotif raksasa ini mengalami kerugian besar, pangsa pasar yang terus menyusut, dan masalah keuangan yang semakin parah. Di tengah ketidakpastian ini, Ford mengambil langkah berani dengan mengangkat Alan Mulally, mantan eksekutif Boeing, sebagai CEO baru mereka. Langkah ini terbukti menjadi keputusan yang tepat, karena di bawah kepemimpinan Mulally, Ford mengalami transformasi besar yang membawa perusahaan dari ambang kehancuran menuju kejayaan baru.

Ketika Mulally bergabung dengan Ford, perusahaan menghadapi berbagai tantangan besar. Ford mencatat kerugian sebesar $12,7 miliar pada tahun 2006, yang merupakan kerugian terbesar dalam sejarah perusahaan. Selain itu, banyak produk Ford yang sudah usang dan tidak lagi menarik bagi konsumen. Masalah lain yang dihadapi adalah budaya perusahaan yang terpecah, di mana divisi-divisi di dalam perusahaan bekerja secara terpisah dan sering kali tidak berkoordinasi dengan baik.

Mulally segera menyadari bahwa untuk menyelamatkan Ford, diperlukan perubahan mendasar dalam cara perusahaan beroperasi. Salah satu langkah pertama yang diambilnya adalah memperkenalkan visi “One Ford” yang menekankan pada penyatuan perusahaan. Semua divisi harus bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama. Mulally mempromosikan kerja sama tim dan transparansi di semua tingkat organisasi.

Langkah-langkah strategis yang diambil Mulally membawa hasil yang luar biasa. Pada tahun 2009, di tengah resesi global yang parah, Ford adalah satu-satunya dari Tiga Besar produsen otomotif Amerika yang tidak mengajukan kebangkrutan atau meminta bantuan pemerintah. Pada tahun 2010, Ford kembali mencatat keuntungan sebesar $6,6 miliar, kebangkitan yang luar biasa dari kerugian besar yang dialami beberapa tahun sebelumnya.

Alan Mulally pensiun dari Ford pada tahun 2014, meninggalkan warisan kepemimpinan yang kuat dan visi yang jelas. Di bawah kepemimpinannya, Ford tidak hanya berhasil keluar dari krisis keuangan tetapi juga mengembalikan kepercayaan konsumen dan membangun kembali reputasi sebagai salah satu produsen mobil terkemuka di dunia. Kisah Alan Mulally di Ford adalah contoh inspiratif tentang bagaimana kepemimpinan yang kuat, visi yang jelas, dan keputusan strategis yang berani dapat mengubah perusahaan yang berada di ambang kebangkrutan menjadi entitas yang sehat dan menguntungkan.

Membangun sebuah sekolah adalah tugas yang menantang, terutama ketika harus menghadapi berbagai masalah yang kompleks dan beragam. Seperti kisah perusahaan Ford di atas, itulah yang dialami oleh penulis dalam upaya membangun SMKN 10 Semarang. Tantangan yang dihadapi tidak hanya berkaitan dengan infrastruktur, tetapi juga melibatkan sumber daya manusia, citra masyarakat, dan bahkan bencana alam seperti banjir.

Salah satu tantangan pertama yang dihadapi adalah kondisi infrastruktur sekolah yang jauh dari memadai. Gedung-gedung yang ada masih minim fasilitas, belum mampu mendukung kegiatan belajar mengajar dengan optimal. Penulis harus bekerja keras untuk mencari sumber dana dan melakukan berbagai renovasi agar lingkungan sekolah menjadi lebih layak dan nyaman bagi para siswa dan guru. Upaya ini melibatkan perbaikan gedung, rehab ruang kelas, serta peningkatan fasilitas penunjang seperti laboratorium dan perpustakaan.

Selain masalah infrastruktur, penulis juga dihadapkan pada tantangan sumber daya manusia. Ketersediaan guru dan karyawan yang cukup dan kompeten menjadi kendala tersendiri. Untuk mengatasi hal ini, berbagai upaya dilakukan, termasuk pelatihan dan pengembangan profesional bagi guru dan staf karyawan. Penulis juga berusaha merekrut tenaga pendidik yang berkualitas untuk meningkatkan kualitas pendidikan di SMKN 10 Semarang. Dengan adanya guru-guru yang berkompeten, diharapkan proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan lebih efektif dan efisien.

SMKN 10 Semarang pada awalnya berada di posisi yang kurang diminati oleh lulusan SMP. Rendahnya jumlah pendaftar yang berkualitas menjadi cerminan dari rendahnya minat dan kepercayaan masyarakat terhadap sekolah ini. Penulis mengambil langkah-langkah strategis untuk meningkatkan daya tarik sekolah, seperti memperkenalkan program-program unggulan, mengadakan kegiatan promosi, dan menjalin kerja sama dengan berbagai pihak untuk membuka peluang lebih besar bagi para siswa yang berkualitas. Program-program unggulan yang ditawarkan meliputi kejuruan-kejuruan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja, sehingga menarik minat calon siswa dan orang tua.

Citra negatif di mata masyarakat menjadi tantangan lain yang harus dihadapi. Banyak orang tua dan calon siswa yang memandang sebelah mata terhadap SMKN 10 Semarang. Untuk memperbaiki image ini, penulis melakukan berbagai pendekatan ke masyarakat, aktif mengimformasikan kemajuan sekolah ke orang tua dan Masyarakat melalui website sekolah dan sosial media.

Sebagai tambahan dari semua tantangan tersebut, bencana alam seperti banjir menjadi masalah yang tidak bisa dihindari. Lokasi SMKN 10 Semarang yang rawan banjir membuat penulis harus berpikir keras untuk menemukan solusi. Pembangunan sistem drainase yang baik dan program mitigasi bencana menjadi prioritas untuk memastikan kegiatan belajar mengajar tidak terganggu oleh bencana alam. Langkah-langkah ini meliputi pembangunan saluran air yang lebih besar, pembangunan tanggul, serta pompanisasi yang memadai.

Alhamdulillah, dalam dua tahun mengelola sekolah ini, kami telah berhasil melakukan transformasi luar biasa. Keberhasilan mengatasi berbagai masalah yang dihadapi, banyak terinspirasi dari buku “Make Time” karya John Zeratsky dan Jake Knapp. Buku ini memberikan panduan praktis untuk fokus pada hal-hal yang penting, mengumpulkan energi untuk melakukannya, serta menghancurkan rutinitas yang menghalangi produktivitas.

John Zeratsky dan Jake Knapp, dua mantan karyawan Google Ventures, menyadari bahwa kesibukan mereka sering kali tidak produktif. Mereka menemukan bahwa banyak dari kita terjebak dalam dua jenis kesibukan yang mereka sebut sebagai “Busy Bandwagon” dan “Infinity Pools”. Kedua konsep ini menggambarkan jebakan modern yang membuat kita merasa sibuk, namun sebenarnya tidak menghasilkan sesuatu yang berarti.

“Busy Bandwagon” adalah istilah yang digunakan Zeratsky dan Knapp untuk menggambarkan budaya sibuk yang tampak seolah-olah kita harus selalu melakukan sesuatu. Dalam lingkungan kerja atau kehidupan sehari-hari, kita sering kali merasa perlu untuk selalu terlibat dalam aktivitas agar terlihat produktif. Namun, kenyataannya, banyak dari aktivitas tersebut tidak memberikan nilai tambah yang signifikan.

Budaya ini mendorong kita untuk selalu terlibat dalam rapat, menjawab email, atau mengerjakan tugas-tugas yang seolah-olah penting. Padahal, banyak dari aktivitas ini hanya membuat kita sibuk tanpa memberikan hasil yang berarti. Sebagai contoh, kita mungkin menghabiskan banyak waktu dalam rapat yang sebenarnya bisa dihindari atau disingkat. Zeratsky dan Knapp menyarankan untuk mengidentifikasi aktivitas-aktivitas ini dan mencari cara untuk menguranginya atau menghilangkannya sama sekali.

Sementara “Busy Bandwagon” terkait dengan aktivitas fisik dan tugas-tugas sehari-hari, “Infinity Pools” berhubungan dengan konsumsi konten digital yang tanpa akhir. Media sosial, berita terkini, video streaming, dan aplikasi lainnya dirancang untuk menarik perhatian kita terus-menerus. Konten ini seperti kolam tanpa dasar yang selalu ada dan siap untuk dikonsumsi. Menghabiskan waktu berjam-jam untuk scrolling media sosial atau menonton video di YouTube mungkin terasa menyenangkan pada awalnya, tetapi lama-kelamaan bisa menguras waktu dan energi kita tanpa memberikan manfaat yang berarti. Zeratsky dan Knapp menyarankan untuk membatasi waktu yang dihabiskan untuk konsumsi konten ini. Mereka juga mengusulkan untuk menetapkan batasan yang jelas, seperti hanya mengakses media sosial pada waktu-waktu tertentu atau mematikan notifikasi yang tidak penting.

Mencari cara untuk mengelola waktu dengan lebih baik dan meningkatkan produktivitas sering kali menjadi tantangan. John Zeratsky dan Jake Knapp, dalam buku mereka “Make Time”, menawarkan sebuah sistem yang telah terbukti efektif dalam membantu banyak orang menetapkan prioritas harian, fokus penuh, menjaga energi, dan melakukan refleksi harian. Sistem ini telah membantu banyak orang, termasuk kami dalam mengelola SMKN 10 Semarang, untuk lebih fokus pada hal-hal yang benar-benar penting dan memberikan hasil yang signifikan.

Dalam perjalanan transformasi SMKN 10 Semarang menjadi sekolah yang unggul, langkah-langkah yang diambil oleh tidak hanya strategis tetapi juga penuh dengan kebijaksanaan. Setiap hari dimulai dengan pemilihan highlight harian, sebuah aktivitas yang menjadi fokus utama, dipilih berdasarkan urgensi, kepuasan pribadi, atau kebahagiaan yang akan ditimbulkannya. Ini bukan sekadar tugas, melainkan janji kepada diri sendiri untuk mencapai sesuatu yang berarti.

Kemudian, dengan laser focus, penulis memastikan bahwa seluruh energi dan perhatian terpusat pada highlight tersebut. Ia menghilangkan segala distraksi, terutama yang bersumber dari teknologi, menciptakan ruang kerja yang kondusif untuk konsentrasi penuh.

Menjaga energi menjadi prioritas, karena tanpa energi yang cukup, fokus menjadi mustahil. Penulis memperhatikan asupan makanan, memastikan bahwa setiap gigitan memberikan nutrisi yang diperlukan untuk pikiran dan tubuh.

Di akhir hari, refleksi harian menjadi momen introspeksi. Apa yang berhasil? Apa yang bisa diperbaiki? Catatan harian menjadi cermin yang menunjukkan realitas tanpa bias, membantu penulis untuk belajar dari setiap hari yang berlalu. Ini bukan tentang mencari kesalahan, tetapi tentang pembelajaran berkelanjutan, tentang bagaimana menjadi lebih baik hari demi hari.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip dari “Make Time”, penulis berhasil memperbaiki infrastruktur sekolah, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan membangun citra positif di mata masyarakat. Kami juga mampu mengatasi tantangan-tantangan lainnya seperti banjir dan bencana alam. Transformasi ini tidak hanya berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan, tetapi juga pada peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap sekolah.

Penulis : Ardan Sirodjuddin, M.Pd, Kepala SMKN 10 Semarang