Tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak guru kesulitan melaksanakan kegiatan menulis. Menulis itu sulit. Menulis itu menyebalkan. Menulis itu membosankan. Begitu keluh kesah mereka mengenai keterampilan menulis. Mereka mengganggap keterampilan berbahasa yang paling sulit adalah keterampilan menulis.
Menulis merupakan keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung dan tidak secara tatap muka dengan orang lain. Menulis merupakan kegiatan yang bersifat produktif dan ekspresif. Keterampilan menulis tidak datang secara otomatis, melainkan harus melalui latihan dan praktik yang banyak dan teratur (Tarigan 1993:3-4). Menulis adalah kegiatan menuangkan perasaan, gagasan, ide, atau pendapat secara tertulis yang ditujukan untuk orang lain dengan memperhatikan kaidah kebahasaaan secara tidak langsung. Menulis sebagai salah satu keterampilan berbahasa perlu mendapat perhatian dalam pembelajaran di sekolah.
Memang tidak dapat disangkal lagi, bila kegiatan tulis-menulis lebih sulit dibanding kegiatan berbahasa lainnya, seperti membaca dan menyimak. Keterampilan menulis tidak dapat dicapai bila kita tidak punya sesuatu untuk ditulis. Bagaimana kita bisa menulis dengan baik bila kita tidak memiliki wawasan yang luas, tidak memiliki kemampuan menggunakan kaidah penulisan yang baik dan lain-lain.
Dari berbagai alasan yang telah dikemukakan tersebut, penyebab utama rendahnya kemampuan menulis sebenarnya berakar pada rendahnya budaya literasi kita sebagai guru. Bagaimana mungkin bisa menulis dengan baik bila para guru tidak senang membaca atau tidak pernah membaca?
Hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) menyebut, budaya literasi masyarakat Indonesia pada 2012 terburuk kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia. Indonesia menempati urutan ke-64 dari 65 negara tersebut. Sementara Vietnam justru menempati urutan ke-20 besar.
Pada penelitian yang sama, PISA juga menempatkan posisi membaca siswa Indonesia di urutan ke-57 dari 65 negara yang diteliti. PISA menyebutkan, tak ada satu Siswa pun di Indonesia yang meraih nilai literasi di tingkat kelima. Hanya 0,4 persen siswa yang memiliki kemampuan literasi tingkat empat. Selebihnya di bawah tingkat tiga, bahkan di bawah tingkat satu.
Data statistik UNESCO 2012 juga menyebutkan, indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Bagaimanna mungkin siswa kita bisa menulis dengan baik bila tidak memiliki minat baca? Rendahnya minat siswa membaca dan menulis tidak lain karena literasi guru juga rendah.
Berlatar belakang tersebut, SMK Negeri 10 Semarang meluncurkan program Gerakan Guru Menulis. Lewat gerakan ini, Bapak dan Ibu Guru diminta untuk membaca setiap minggu dan melaporkan hasil bacaan ke form online yang disediakan oleh sekolah. Kegiatan ini bertujuan untuk memperluas wawasan Bapak dan Ibu Guru sebagai bahan untuk membuat artikel.
Setelah menambah wawasan lewat membaca setiap minggu, sekolah mengadakan pelatihan menulis untuk guru. Sebanyak empat kali pelatihan dilaksanakan untuk mematangkan kemampuan guru dalam menulis. Selanjutnya hasil tulisan Bapak dan Ibu Guru dikirim ke email Humas. Melalui tim editor dibawah koordinasi humas melakukan editing artikel yang dikirim guru. Hasil editing dari tim editor selanjutnya diupload oleh admin ke website sekolah. Sejak diluncurkan di Bulan Januari 2022, Program Gerakan Guru Menulis mampu menghasilkan 102 artikel. Sebuah prestasi yang luar biasa.
“SMK Negeri 10 Semarang, dari Semarang untuk Indonesia”
Penulis : Nyaminah, S.Pd., Guru Mapel Matematika
Editor: Tim Humas
Komentar Pengunjung