Saat ini, segala sesuatu diunggah. Kalimat pada pembuka tulisan ini menunjukkan sebagian ungkapan miring atas berbagai hal yang dinilai sepele yang diunggah di media sosial yang terkesan menonjolkan diri (baca: pamer). Ungkapan miring lain yang terkesan lebih sinis seperti orang kaya baru (OKB), sok-sokan dan komen negatif lainnya juga banyak menghiasi media sosial akhir-akhir ini menanggapi berbagai konten yang menunjukkan properti berbau kemewahan. Pengunggahan konten berbau kemewahan akhir-akhir ini menjadi fenomena yang disebut flexing. Bila berkomentar, pengunggah bahkan pelaku dalam konten melibatkan siswa di tingkat sekolah, bukan tidak mungkin akan menimbulkan kejengahan dan keprihatinan antar warga sekolah yang mempengaruhi kondusivitas sekolah sebagai tempat pembelajaran. Bahkan dampak flexing di sekolah akan meluas pada kesan masyarakat terhadap sekolah yang bukan tidak mungkin menghasilkan stigma negatif masyarakat terhadap sekolah tersebut. Lalu bagaimana upaya mewujudkan sekolah yang bebas flexing?
Flexing pada awal kemunculannya merupakan media promosi produk suatu perusahaan sebagai bagian strategi marketing. Flexing berasal dari flex yang artinya lentur, melendung (Kamus Inggris-Indonesia online).Terkait dengan stratesi marketing, tentu pada awal kemunculannya konten flexing dirancang dengan penuh pertimbangan sesuai manfaat dan keunggulan produk dan ketepatan pangsa pasar produk tersebut. Artinya desain flexing awalnya dirancang secara cermat karena termasuk dalam biaya produk. Namun, seiring meningkatnya akseptabilitas piranti teknologi informasi dan merebaknya aplikasi media sosial serta kemudahan dalam mengakses dan menggunakannya memungkinkan semua orang (setiap siswa) melakukan flexing, membuat dan mengunggah konten dengan mudah, cepat dan murah sehingga aktivitas biasa nan sederhana menjadi terkesan berlebihan, bahkan mengada-ada.
Akibatnya, flexing pun mengalami peyorasi, bahkan saat ini flexing sering diartikan sebagai seseorang yang menunjukkan sesuatu yang mereka raih dan miliki seperti prestasi, jabatan, relasi, atau apapun yang dirasa sebagai sebuah kebanggaan (Cambridge Dictionary). Growth Stefany Valentina, seorang psikolog klinis sebagaimana dilansir kompas.com, flexing mengartikan sebagai pamer, dalam arti menyempit pamer harta atau kekayaan. Flexing ini marak dan menarik dilakukan kalangan anak-anak muda, termasuk siswa. Piranti handphone yang ada dalam genggaman setiap siswa saat ini memungkinkannya setiap siswa mendokumentasikan aktivitas terkait dengan posisinya seperti belajar, kerja kelompok, kegiatan ekstrakurikuer atau pengerjaan tugas-tugasnya serta mengunggahnya sebagai konten reels di Facebook, Instagram, Twitter, Tiktok, Snack Video atau sejenisnya, termasuk kegiatan yang saat ini digandrungi anak sekolah seperti bernyanyi, berjoget ala boy band atau girl band atau meniru adegan drakor, sinetron atau tontonan lainnya, maupun aktivitas di luar pembelajaran seperti momen santai jalan-jalan bersama (healing) dan makan bersama (kuliner). Disadari atau tidak itu akan mendominasi ruang digital mereka dan dalam sistem jejaring menjadi suguhan publik yang mengundang beragam komentar. Tanpa diawasi dan arahan yang memadai, berbagai kegiatan siswa di sekolah dapat mengarah pada perilaku flexing. Akibatnya akan membawa kesan pada beberapa siswa yang ingin meninggikan diri, sombong dan seakan lebih dari yang lain yang memposisikannya sekat-sekat sosial dan pergaulan yang ekslusivis. Di sisi lain memunculkan kelompok yang terpingirkan dalam relasi bahkan dapat memicu kecemburuan sosial sehingga akan mempengaruhi kualitas relasi pembelajaran yang pada gilirannya akan mempengaruhi perkembangan psikologis yang cenderung menjadi asosial.
Disposisi sosial siswa yang demikian itulah yang perlu diminimalisir. Dalam konteks meminimalisir fenomena flexing ini, perlu kiranya ditanamkan kembali dasar falsafah negara. Perlu pendalaman flexing ketidaksesuaian flexing dengan salah satu sila Pancasila. Penyadaran dan pembiasaan untuk menjauhkan dari sikap bergaya hidup mewah yang merupakan salah satu tuntunan dan butir pengamalan sila kelima Pancasila perlu ditekankan. Juga perlunya reposisi dan reaktualisasi peran sekolah pada spirit dasar wawasan wiyata mandala, dan penguatan posisi sekolah sebagai tempat bergerak bersama untuk menyemarakkan merdeka belajar, sebagaimana tema hardiknas tahun ini (SE mendikbudritek no, 12811/MPK.A/TU.02.03/2023) dengan orinetasi pada penguatan kesadaran kolektif akan fungsi sekolah sebagai tempat menimba ilmu dan menempa diri, belajar secara merdeka untuk berprestasi dan mencapai masa depan, bukan untuk hal-hal lain, terlebih untuk pamer diri dan kekayaan. Penggalian kembali spirit awal penggunaan seragam sekolah, atau setidaknya penyadaran berpakaian atau penggunaan atribut sewajarnya menjadi tema diskusi yang selalu relevan, termasuk mengangkat gaya hidup berbagai tokoh sebagai alternatif life style kekinian. Bahkan memasukan gaya hidup sederhana menjadi bahasan gaya hidup berkelanjutan menjadi salah satu tema relevan projek penguatan profil pelajar Pancasila dimana projek tersebut menjadi salah satu dimensi unggulan dalam implementasi kurikulum merdeka, temasuk kajian kajian tentang berbagai dampak psikologis dari flexing, sebagai tinjauan kritis dalam pembelajaran. Akhirnya, pembinaan bagaimana bermedia sosial secara bijak, dan pendampingan siswa sebagai content creator ruang virtual sekolah, baik oleh kepala sekolah, para guru maupun pengawsan orang tua secara komprehensif diyakini akan meminimalisir fenomena flexing di sekolah sebagai ruang pembelajaran, sekaligus tempat menempa diri dan aktualisasi calon-calon kreator kreator konten digital di masa mendatang.
Penulis : Y. Bangun Widadi, M.Pd., Guru SMAN 1 Bringin
Editor : Nurul rahmawati, M.Pd., Guru SMKN 1 Tuntang
Komentar Pengunjung