Link Sekolah yang Belum Match dengan Industri

Sejak dirumuskan tahun 1993, realisasi konsep “link and match” terus disempurnakan, mulai dari sistem ganda (magang) hingga Kampus Merdeka pada era Mendikbud Nadiem Makarim. Kilas balik program link and match dapat ditelusuri sebagai berikut, tahun 1990 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1990 Pasal 29 Ayat 2, terkait instruksi untuk mempersiapkan siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menjadi tenaga siap kerja. Disusul pada tanggal 5 April 1993, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Wardiman Djojonegoro dan Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Abdul Latief menyampaikan kedua departemen sepakat mencetak tenaga kerja mandiri dalam program kerja bersama. Terkait prinsip link and match, Wardiman mengatakan Depdikbud bertugas menyiapkan perangkat lunak, sedangkan Depnaker menangani persoalan di lapangan termasuk menyiapkan hubungan dengan masyarakat.

Mendikbud Wardiman Djojonegoro kembali menegaskan relevansi pendidikan dan kebutuhan tenaga kerja. Pemagangan bagi siswa sekolah (kejuruan) dianggap perlu dalam industri berkaitan dengan penerapan program link and match. Mulai tahun ajaran 1994/95, sistem ganda (dual system), atau sistem pemagangan, diterapkan di beberapa sekolah. Pada Tanggal 28 April 1994, Depdikbud bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menandatangani naskah kerjasama dalam pelaksanaan sistem ganda pada pendidikan menengah kejuruan. Naskah kerjasama itu ditandatangani oleh Wardiman Djojonegoro dan Ketua Umum Kadin Indonesia Aburizal Bakrie di Jakarta.

Di  tahun 2003, Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi merencanakan pengembangan kebijakan hubungan dan kesesuaian (link and match) antara SMK dengan UKM dalam pelaksanaan program Sistem Insentif Penguatan Teknologi dan Manajemen (Siptekman). Puncaknya pada tanggal 9 September 2016, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 9/2016 terkait revitalisasi SMK dalam rangka peningkatan SDM. Inpres itu kemudian ditindaklanjuti dengan Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementrian Tenaga Kerja, Kementrian Perindustrian, dan Kementrian BUMN. Penandatanganan tersebut dalam rangka pengembangan pendidikan kejuruan dan vokasi berbasis kompetensi yang terhubung dengan industri.

Di tahun 2020, Dirjen Diksi Kemendikbud Wikan Sakarinto resmi meluncurkan enam program SMK secara live streaming melalui kanal youtube Direktorat SMK. Selain bertujuan menciptakan SDM hebat, enam program yang dirilis Direktorat SMK tersebut mengusung semangat link & match. Dan pada tanggal 15 Juli 2020 Kemendikbud meluncurkan Forum Pengarah Vokasi (Rumah Vokasi) sebagai upaya mendorong relevansi (link and match) keterampilan berkelanjutan antara pendidikan vokasi dan dunia usaha. Mendikbud Nadiem Anwar Makarim menjelaskan, Rumah Vokasi akan menjadi jembatan industri dan unit pendidikan vokasi.

Konsep link and match seharusnya tidak hanya menghubungkan sekolah dengan dunia usaha dan dunia industri tetapi juga menjadikan lulusan SMK mampu menjadi wirausaha. Pendidikan formal atau SMK berupaya mampu mengubah pola pikir lulusan SMK yang tidak hanya menjadi lulusan siap kerja namun menjadi lulusan siap berwirausaha dan mandiri. Jadi SMK diharapkan menghasilkan lulusan yang mampu Bekerja, Mengembangkan Diri/Melanjutkan, dan Wirausaha Muda sesuai dengan kompetensi keahlian.

Upaya untuk mewujudkan amanah undang-undang dan instruksi presiden itu maka muncullah mata pelajaran Produk Kreatif dan Kewirausahaan. Apakah dengan munculnya mata pelajaran tersebut dengan serta merta menciptakan wirausaha muda lulusan SMK? Pengembangan potensi pada peserta didik lulusan SMK dirasa kurang maksimal, dapat dilihat dari minimnya jumlah wirausahawan lulusan SMK.

Kurang efektifnya pembelajaran Produk Kreatif dan Kewirausahaan di SMK dapat dilihat dari beberapa faktor antara lain pertama, guru pengampu Produk Kreatif dan Kewirausahaan tidak memiliki usaha hal itu dapat menurunkan semangat berwirausaha peserta didik karena peserta didik memerlukan pembelajaran nyata tidak hanya sekedar teori. Guru Produk Kreatif dan Kewirausahaan yang tidak memiliki usaha akan mengalami kesulitan dalam mengajarkan marketing karena mereka tidak mengetahui dinamika seorang pengusaha sehingga teori yang diberikan kepada peserta didik kurang bermakna.

Kedua, rendahnya komitmen guru Produk Kreatif dan Kewirausahaan terhadap kewirausahaan. Hal itu dapat dilihat dari minimnya keseriusan guru terhadap kewirausahaan, mereka masih menganggap sebelah mata tentang budaya berwirausaha. Ketiga, minimnya guru Produk Kreatif dan Kewirausahaan yang benar-benar memiliki skill wirausaha karena sebagian guru Produk Kreatif dan Kewirausahaan berasal dari lulusan sarjana yang kekurangan jam mengajar dalam sekolahan bukan mereka yang memiliki kompetensi wirausaha. Keempat, sulitnya memasarkan prodak barang atau jasa kepada masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat lebih tertarik pada barang atau jasa yang murah namun mengesampingkan kualitas dan masyarakat kurang memberikan kepercayaan kepada peserta didik yang sedang belajar berwirausaha.

Lalu bagaimana solusi untuk memecahkan masalah tersebut? Inilah enaknya saya sering mengikuti banyak forum ilmiah. Bisa bertemu dengan para pakar dari luar dunia pendidikan. Lontaran narasumber Bapak Ir. Okky Tri Hutomo, M.IT dari Aptiknas memberikan pencerahan antara lain yang pertama guru Produk Kreatif dan Kewirausahaan harus membuka sebuah usaha sendiri. Upaya ini mempunyai banyak manfaat yang dapat diterima oleh guru itu sendiri dan juga oleh peserta didik. Guru  dapat memperoleh pengalaman nyata tentang berwirausaha sehingga dapat dipakai dalam mendidik.

Selain itu mereka juga mampu memperoleh pemasukan dari usaha yang mereka jalankan. Peserta didik dapat memanfaatkan pengalaman berwirausaha guru sebagai bahan belajar dan sarana belajar berwirausaha. Yang kedua guru Produk Kreatif dan Kewirausahaan perlu mengajak peserta didiknya untuk lebih aktif mempelajari usaha-usaha yang sudah ada melalui observasi lapangan dan kunjungan industri. Adapun solusi yang ketiga guru Produk Kreatif dan Kewirausahaan perlu membuka hubungan dengan pengusaha-pengusaha yang ada untuk dapat dipakai sebagai tempat belajar peserta didiknya.

Yang keempat guru Produk Kreatif dan Kewirausahaan perlu mengembangkan metode dan model pembelajaran yang dapat lebih mendekatkan peserta didik pada situasi nyata berwirausaha. Sementara guru Produk Kreatif dan Kewirausahaan perlu membuat setting tugas yang menuntut peserta didik untuk memulai sebuah usaha, contohnya dengan membuat business plan competition sebagai solusi yang terakhir.

Menutup catatan ini saya berharap guru-guru Produk Kreatif dan Kewirausahaan menjadi katalis menghubungkan sekolah dengan IDUKA dan mampu menularkan virus berwirausaha kepada anak didiknya. Sebuah harapan yang patut untuk dikejar.

Penulis : Ardan Sirodjuddin, Kepala SMKN 1 Tuntang