Jaman itu siapa yang tidak kenal dengan Blackberry, ngetren sekali rasanya jika sudah ada ditangan hp dengan keypad unik itu. Dulu sering sekali kita bertanya Minta PIN BB ya dong untuk bisa berkomunikasi dengan chatting Black Berry Mesenger.
Seiring perjalanan waktu Blackberry telah pudar kedigdayaannya. John Chen, selaku CEO Blackberry telah melaporkan bahwa pabrikan asal Kanada ini telah merugi USD 372 juta atau sekitar Rp.4,8 triliun. Laporan ini disampaikan oleh Chen dilaman resmi Blackberry dalam menutup kuartal kedua yang jatuh pada 31 Agustus 2016 lalu. Dan keputusan yang cukup mengejutkan banyak orang adalah Blackberry berhenti membuat perangkat keras.
Kejatuhan Blackberry disebabkan karena kalah saing dengan produk baru yang lebih bagus dan kompetitif. Blackberry jatuh karena terlambat membaca pasar dan melakukan inovasi produk.
Kasus yang hampir sama dialami oleh Tabloid BOLA. Teringat dulu ketika masih bersekolah di SD, saya bela-belain menyisihkan uang saku untuk membeli koran ini. Nikmat dan bangga rasanya ketika kedua tangan memegang kertas tabloid dan membaca halaman demi halaman. Kurang lebih 34 tahun Tabloid BOLA telah menemani pembaca setianya, menemani tumbuh kembang generasi 80an dan 90an.
BOLA pertama kali hadir di media cetak Indonesia pada 3 Maret 1984, dulu hanya sebatas sisipan dari Harian KOMPAS. Namun, karena animo pembaca yang cukup tinggi pada April 1988 BOLA memutuskan untuk terbit secara independen dengan format mingguan yang terbit setiap hari Jum’at.
Kepergian BOLA ini mengikuti jejak saudara mudanya, tabloid SOCCER. Tabloid SOCCER sudah terlebih dahulu berpamitan kepada pembacanya sejak Oktober 2014. Perkembangan teknologi sepertinya telah mengubah gaya hidup masyarakat termasuk dalam hal ini dalam memperoleh berita-berita olahraga. Di era digital ini orang-orang jaman now bisa dengan mudah mendapatkan berita dan informasi lewat telepon pintarnya. Hal ini yang disinyalir sebagai salah satu penyebab media cetak macam BOLA dan kerabatnya tidak lagi mampu bersaing dengan cetakan konvensionalnya.
Kedua kasus di atas memberi pelajaran kepada kita akan pentingnya inovasi produk. Jika kita kembalikan ke dunia pendidikan, sudah saatnya sekolah juga melakukan inovasi untuk mengefisienkan dan mengefektifkan program kegiatan. Salah satu yang saya sasar dari tulisan ini adalah program di kurikulum tentang pengadaan properti evaluasi dan perangkat pembelajaran. Kedua program ini menggunakan kertas yang luar biasa banyak. Untuk ulangan saja baik itu Penilaian Harian, Penilaian Tengah Semester, Penilaian Akhir Semester, dan Ujian Sekolah menghabiskan kertas yang banyak.
Hitung-hitungan kasar jika sekali kegiatan per soal menghabiskan 10 rim dikalikan jumlah mapel, katakan 15 mapel maka jumlah kertas yang dipakai sebanyak 150 rim. Dalam satu tahun akan dilaksanakan kurang lebih 8 kegiatan berarti kertas yang dihabiskan sebanyak 1200 rim.
Jika harga kertas 1 rim sebesar Rp. 50.000, maka dana yang dikeluarkan untuk pembelian kertas sebanyak Rp. 60.000.000. Sementara untuk pencetakan administrasi pembelajaran guru secara sederhana dikalkulasikan jika 1 mata pelajaran menggunakan seperempat rim, maka kertas yang dipakai sebanyak 25 rim untuk guru sejumlah 100 orang. Dalam satu tahun ada dua kali kegiatan pencetakan administrasi pembelajaran, berarti butuh 50 rim. Dana yang dipakai sebesar 50 x Rp. 50.000 sebanyak Rp. 2.500.000. Anggaran yang dikeluarkan ini belum termasuk tinta printer, fotokopi dan biaya lain yang mengiringi proses penilaian. Selesai kegiatan kertas-kertas ini tidak bisa dipakai lagi dan dibuang karena memenuhi ruangan atau dilego murah sebagai barang bekas.
Anggaran sebesar kurang lebih Rp. 62.500.000 ini bisa dialihkan untuk kegiatan yang lebih bermanfaat seperti pelatihan guru, beasiswa untuk peserta didik, peningkatan sarana dan prasarana sekolah dan program prioritas lain. Pengganti dari penggunaan kertas ini adalah hijrah dari manual ke digital. Kegiatan sekolah berupa penilaian sudah saatnya meninggalkan kertas dan berpindah menggunakan sistem online. Di samping keuntungan finansial, sistem online memudahkan guru karena tidak perlu lagi koreksi jawaban siswa.
Semenjak diberi amanah mengelola SMKN 10 Semarang per Januari 2022, sekolah ini mulai dirintis ke arah ulangan tanpa kertas. Penguatan guru ke arah evaluasi online terus dikebut dengan program Senin Belajar dan pemenuhan sarpras. Hal ini sejalan dengan tagline sekolah, Ciptakan Inovasi Tebarkan Manfaat.
Penulis : Ardan Sirodjuddin, Kepala SMKN 10 Semarang.
Komentar Pengunjung